rekomendasi

Monday 29 May 2017

KEBIJAKAN DEANDLES DI BIDANG PEMERINTAHAN



Hasil gambar untuk daendels



2.1. KILAS BALIK PEMERINTAHAN DEANDLES
Salah satu pemerintahan terkenal pada masa penjajahan Belanda adalah pemerintahan Daendels. Herman Willem Daendels yang pada tahun 1808 diangkat menjadi gubernur jendral di wilayah Indonesia mengemban tugas untuk mempertahankan wilayah Jawa dari serangan pasukan Inggris. Berbagai upaya dilakukan oleh daendels untuk mempertahankan wilayah jawa mulai dari memperkuat pertahanan hingga membangun infrastruktur yang memadai.

Peninggalannya yang saat ini masih tetap kita gunakan adalah pembangunan jalan yang menghubungkan antara pulau jawa bagian barat hingga bagian timur. Adalah pembangunan jalan Anyer-Panarukan yang membentang hingga sejauh lebih kurang 1000 km.

Masa pemerintahan Daendels merupakan salah satu masa sulit yang harus dijalani bangsa Indonesia pada saat itu. Misinya dalam memperkuat pertahanan dan ketentaraan telah mengkorbankan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Daendels menerapkan sistem kerja paksa atau yang dikenal dengan kerja rodi dalam melakukan pembangunan jalan Anyer-Panarukan yang pada saat inimenjadi saksi bisu bagaimana sakit dan rintihan pekerja pribumi yang mati dalam pembuatan jalan tersebut.

Selain membangun infrastruktr jalan, daendels juga membangun benteng-benteng untuk memperkuat pertahanan. Untuk itu Daendels melatih orang-orang Indonesia dalam berperang dan membangun benteng-benteng, pabrik mesiu hingga membangun rumah sakit. Hal ini dilakukan mengingat tidak mungkin untuk menambah jumlah tentara dengan mendatangkan dari negeri belanda.

Setelah pembangunan jalan yang menghubungkan Anyer hingga PAnarukan selesai, daendels memerintahkan untuk membangun pelabuhan-pelabuhan dengan dilengkapi perahu-perahu kecil yang juga merupakan hasil keringat pribumi pada saat itu. Pembuatan pelabuhan ini menelan banyak sekali korban jiwa karena pada saat itu para pekerja banyak yang terserang penyakit malaria. Hingga pada akhirnya pembuatan pelabuhan itu terbengkalai. Namun Daendels bersikeras untuk menyelesaikan proyek pembangunan pelabuhan ini. Hal ini mengakibatkan kemarahan dari kerajaan Banten. Daendel menganggap jiwa rakyat Banten tidak ada artinya dan akirnya peperangan antara Kerajaan banten dan Belanda pun tidak terelakan.

Peperangan antara kerajaan Banten dan Belanda pun terjadi, pasukan Belanda menyerbu keraton dan berhasil mengasingan Sultan Banten ke Ambon. Selain itu Mangkubumi, seorang perdana menteri Banten dibunuh dan jasadnya dibuang kelaut karena dianggap merupakan tiang perlawanan terhadap pemerintahan Belanda. Belanda pun kemudian mengangkat sultan baru untuk memerintah kerajaan Banten yang wilayah kekuasaan yang telah diperkecil.

Selanjutnya untuk mengatasi reaksi raja-raja lain di Jawa, Daendels membuat aturan baru tentang sopan santun antara Belanda dengan raja-raja di Jawa Tengah. Sultan Nyayogyakarta bereaksi dengan menentang aturan baru ini dan menyiapkan rencana perlawanan. Namun Belanda yang mencium rencana Sultan Nyayogyakarta ini segera menyerbu keraton dan merampas semua isi keraton. Selanjutnya Belanda memperkecil wilayah kekuasaan kerajaan Nyayogyakarta dan memecat Sultan Hamengkubuwono I. Sejak saat itu Sultan Hamengkubuwono I dikenal dengan gelar SUltan Sepuh.

Pemerintahan Daendels berakhir ketika pada tahun 1810 Kerajaan Belanda yang berada dibawah pemerintahan Raja Louis Napoleon Bonaparte dihapuskan oleh Kaisar Napoleon Bonaparte. Negeri belanda kemudian menjadi wilayah Perancis sehingga secara otomatis Indonesia yang merupakan wilayah jajahan Belanda menjadi wilayah jajahan Perancis. Napoleon menganggap Daendels sangat otokratis atau otoriter sehingga pada tahun 1811 ia dipanggil kembali ke negeri Belanda dan kedudukannya digantkan oleh Gubernur Jendral Janses.

2.2. BIOGRAFI DEANDLES
Daendels dengan nama lengkap Herman Willem Daendels lahir di Hattem, Gelderland, Belanda pada 21 Oktober 1762. Daendels meninggal di Elmina, Belanda pada 2 Mei 1818 di umur 55 tahun. Daendels merupakan seorang politikus Belanda sekaligus pernah menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia - Belanda yang ke 36. Daendels memerintah Hindia Belanda pada periode 1808 - 1811 ketika Belanda di kuasai Perancis.

Pada tahun 1780 dan 1787, Daendels ikut melakukan pemberontakan di Belanda dan kemudian melarikan diri ke Perancis. Di Perancis Daendels menyaksikan perubahan Revolusi Peracis serta menggabungkan diri pada pasukan Republik Batavia. Daendels mencapai level Jenderal dan pada tahun 1795 ia diangkat sebagai Letnan Jenderal. Ia tergabung dalam kaum unitaris dan menjabat sebagai kepala kaum unitaris Belanda, maka dari itu ia secara langsung ikut serta dalam penyusunan Undang - Undang Dasar Belanda yang pertama. Bahkan Daendels juga mengintervensi militer Belanda selama dua kali. Namun ketika terjadi invasi oleh Inggris dan Rusia di Noord-Holland, Daendels sebagai letnan jenderal dianggap kurang tanggap dan diserang oleh berbagai pihak dan pada akhirnya ia mengundurkan diri dari militer Belanda pada 1800 dan pindah ke Heerde, Gelderland.
Daendels diangkat sebagai Gubernur Jenderal di Indonesia pada periode 1809 hingga 1811. Pengangkatan tersebut dilakukan oleh Louis Napoleon yang merupakan saudara dari Napoleon Bonaparte dan merupakan raja Belanda pada saat itu. Tugas utama dari Daendels adalah mempertahankan pulau Jawa dari serangan Inggris. Dalam usaha mempertahankan pulau Jawa, Daendels menerapkan pembangunan jalan dari Anyer sampai ke Panarukan. Jalan ini dikenal sebagai Grote Post-Weg (jalan raya pos) atau yang lebih dikenal dengan jalan pantura. Daendels dikenal dengan pemerintahannya yang diktator dengan tangan besi. Dari cerita berbagai sumber, pembangunan Grote Post Weg menembus Gunung Pulosari, Jiput, Menes, Pandeglang, Lebak, hingga ke Jasinya (Bogor). Pembangunan jalan ini menghabiskan waktu hanya satu tahun yaitu dari tahun 1809 hingga 1810 dengan tujuam mempermudah tibanya surat - surat dari Anyer menuju Panarukan.
Pada awal pembangunan rute Banten tahap awal, pribumi masih mau membantu pembangunan proyek tersebut secara paksa. Namun, setelah adanya kendala - kendala seperti penyakit malaria serta banyaknya pribumi yang tewas dalam proyek tersebut, maka sebagian dari pribumi tersebut berhenti dalam pembangunan tersebut. Dalam pembangunan jalan Batavia - Banten menewaskan sekitar 15.000 orang dengan jasad - jasad yang tidak dikubur secara layak. Namun Daendels tetap bersikeras untuk merampungkan proyek pembangunan pantura tersebut. Bahkan sesekali Daendels juga memerintahkan prajuritnya untuk menembaki siapa saja yang membangkang terhadap perintahnya. Sebenarnya banyak yang menentang kebijakan tangan besi Daendels di dalam internal Belanda sendiri, namun mereka yang menentang tidak bisa berbuat apa - apa. Daendels mengancam akan memecat serta mengembalikan mereka ke Eropa. Pejabat - pejabat tersebut diantaranya Peter Engelhard Minister dari Yogyakarta, F. Waterloo Prefect dari Cirebon serta F. Rothenbuhler Gubernur Ujung Timur Jawa.
Dalam tulisan mereka, banyak hal yang membahas tentang keburukan Daendels, diantaranya banyaknya korban jiwa akibat kerja rodi dalam pembangunan jalan raya tersebut. Keresahan para pejabat Belanda akhirnya sampai di telinga Louis Napoleon, atas pertimbangannya dan petinggi Belanda, Daendels dicopot dari jabatannya pada 1811 dan digantikan Jenderal Jansens sedangkan Daendels dibawa kembali ke Eropa. Di Eropa, Daendels bertugas di tentara Perancis dan juga mengikuti perang melawan Rusia. Setelah Perancis dikalahkan di Waterloo dan Belanda memerdekakan diri, Daendels menawarkan diri kepada Raja Willem I namun raja Belanda tidak terlalu suka dengan mantan patriot dan tokoh revolusioner ini. Pada 1815 Daendels ditawari menjadi Gubernur Jenderal di Ghana dan meninggal pada 8 Mei 1818 akibat penyakit malaria.

2.3. MASA PEMERINTAHAN REPUBLIK BATAAF
Pada tahun 1795 terjadi perubahan di Belanda. Muncullah kelompok yang menamakan dirinya kaum patriot. Kaum ini terpengaruh oleh semboyan Revolusi Perancis: liberte (kemerdekaan), egalite (persamaan), dan fraternite (persaudaraan). Berdasarkan ide dan paham yang digelorakan dalam Revolusi Perancis itu maka kaum patriot menghendaki perlunya negara kesatuan.Bertepatan dengan keinginan itu pada awal tahun 1795 pasukan Perancis menyerbu Belanda. Raja Willem V melarikan diri ke Inggris. Belanda dikuasai Perancis. Dibentuklah pemerintahan baru sebagai bagian dari Perancis yang dinamakan Republik Bataaf (1795-1806). Sebagai pemimpin Republik Bataaf adalah Louis Napoleon saudara dari Napoleon Bonaparte.
Sementara itu dalam pengasingan, Raja Willem V oleh pemerintah Inggrisditempatkan di Kota Kew. Raja Willem V kemudian mengeluarkan perintahyang terkenal dengan “Surat-surat Kew”. Isi perintah itu adalah agar parapenguasa di negeri jajahan Belanda menyerahkan wilayahnya kepada Inggris bukan kepada Perancis. Dengan “Surat-surat Kew” itu pihak Inggris bertindak cepat dengan mengambil alih beberapa daerah di Hindia seperti Padang padatahun 1795, kemudian menguasai Ambon dan Banda tahun 1796. Inggris juga memperkuat armadanya untuk melakukan blokade terhadap Batavia.
Sudah barang tentu pihak Perancis dan Republik Bataaf juga tidak ingin ketinggalan untuk segera mengambil alih seluruh daerah bekas kekuasaan VOC di Kepulauan Nusantara. Karena Republik Bataaf ini merupakan vassal dari Perancis, maka kebijakan-kebijakan Republik Bataaf untuk mengatur pemerintahan di Hindia masih juga terpengaruh oleh Perancis. Kebijakan yang utama bagi Perancis waktu itu adalah memerangi Inggris. Oleh karena itu, untuk mempertahankan Kepulauan Nusantara dari serangan Inggris diperlukan pemimpin yang kuat. Ditunjuklah seorang muda dari kaum patriot untuk memimpin Hindia, yakni Herman Williem Daendels. Ia dikenal sebagai tokoh muda yang revolusioner.
2.4. PEMERINTAHAN HERMAN WILLIEM DAENDELS (1808-1811)
H.W. Daendels sebagai Gubernur Jenderal memerintah di Nusantara pada tahun 1808-1811. Tugas utama Daendels adalah mempertahankan Jawa agar tidak dikuasai Inggris. Sebagai pemimpin yang ditunjuk oleh Pemerintahan Republik Bataaf, Daendels harus memperkuat pertahanan dan juga memperbaiki administrasi pemerintahan, serta kehidupan sosial ekonomi di Nusantara khususnya di tanah Jawa.
Daendels adalah kaum patriot dan liberal dari Belanda yang sangat dipengaruhi oleh ajaran Revolusi Perancis. Di dalam berbagai pidatonya, Daendels tidak lupa mengutip semboyan Revolusi Perancis. Daendels ingin menanamkan jiwa kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan di lingkungan masyarakat Hindia. Oleh karena itu, ia ingin memberantas praktik-praktik feodalisme. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat lebih dinamis dan produktif untuk kepentingan negeri induk (Republik Bataaf). Langkah ini juga untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan sekaligus membatasi hak-hak para bupati yang terkait dengan penguasaan atas tanah dan penggunaan tenaga rakyat.
Dalam rangka mengemban tugas sebagai gubernur jenderal dan memenuhi pesan dari pemerintah induk, Daendels melakukan beberapa langkah strategis, terutama menyangkut bidang pertahanan-keamanan, administrasi pemerintahan, dan sosial ekonomi.
Dalam rangka mengemban tugas sebagai gubernur jenderal dan memenuhi pesandari pemerintah induk, Daendels melakukan beberapa langkah strategis, terutama menyangkut bidang pertahanan-keamanan, administrasi pemerintahan, dan sosial ekonomi.
a. Bidang Pertahanan Keamanan
1. Meningkatkan jumlah prajurit
Peningkatan jumlah prajurit ini, bertujuan untuk memperkuat angkatan perangnya. Jumlah yang tadinya 4000 orang menjadi 18000 orang. Jumlah itu diperolehnya dari orang-orang pribumi. Sedangkan untuk bintara dipergunakan orang Indo-Belanda dan untuk perwiranya adalah dari bangsa Belanda sendiri. Untuk meningkatkan kedisplinan prajurit, Daedels mengadakan tangsi-tangsi militer yang baik, pakaian seragam, dan mengadakan rumah sakit militer. Dengan adanya bekal seperti ini, setidaknya menjadikan rakyat pribumi bisa belajar berperang.

2. Membangun benteng-benteng baru
Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa politik yang diterapkan Daendels lebih mengarah pada pertahanan dan ketentaraan yang kemudian terlihat pada taktik pertahanan daratnya. Hal ini dibuktikan melalui benteng-benteng yang dibangun lebih kepedalaman dengan pusatnya ditempatkan di Dataran Tinggi Bandung. Ini menjadi pertimbangan Daendels karena benteng-benteng lama seperti Sunda Kelapa sudah tidak kuat dan tidak sesuai lagi.
3. Membangun kembali armada pertahanan laut
Selain dari penambahan prajurit dan membangun benteng-benteng baru, Daendels juga membangun kembali armada pertahan laut. Hal ini dirasa perlu oleh Daendels, karena armada belanda sudah hancur karena serangan Inggris di Teluk Jakarta maupun Surabaya. Akan tetapi kebijakan Daendels yang satu ini tidak berjalan lancar. Karena sampai ia ditarik kembali, kapal-kapal perang yang dipesannya dari Eropa tak kunjung datang, karena terhalang oleh Inggris.
4. Dibangunnya pelabuhan-pelabuhan
Pelabuhan yang bisa dibangun oleh Daendels terdapat di Surabaya tepatnya di pulau Menari, dilengkapi dengan benteng yang bernama Lodewijk. Pelabuhan yang juga digunakan sebagai pangkalan armada ini, awalnya akan dibangun didaerah Ujung Kulon. Akan tetapi, karna perlawanan dari Sultan Banten dan kondisi alam yang tidak memungkinkan, sehingga jadilah pelabuhan tersebut di daerah surabaya yang sampai tahun 1942, menjadi pangkalan armada Belanda.
5. Pembangunan Jalan Raya Anyer-Panarukan
Pembuatan jalan raya pos dari Anyer ke Panarukan, sebuah jalan yang membentang sekitar 1000 km atas dasar pertimbangan pertahanan Jawa sebagai basis melawan serangan Inggris di Samudra Hindia. Dalam hal ini Daendels tidak mendatangkan orang-orang dari Belanda, akan tetapi memperkerjakan orang-orang pribumi (Indonesia) sendiri, yang disebut dengan kerja rodi. Sebenarnya belum diketahui waktu yang pasti kapan pembangunan jalan tersebut dimulai. Akan tetapi, bersamaan dengan dibuatnya jalan Beliau juga mendirikan jasa pos dan telegraf yang kemudian menjadi nama jalan Anyer-Panarukan, groote postweg (Jalan Raya Pos). Perlu diperhatikan kemudian, didalam catatan pada tahun 1810 Deandles telah membeli 200 kuda-alat pengangkut pos-yang menandakan jalan raya tersebut telah selesai.
b. Bidang Perekonomian
Walaupun sebenarnya perhatian Daendels tertuju pada pertahanan dan ketentaraan, akan tetapi Daendels juga membuat kebijakan ekonomi yang bertujuan untuk membiayai kebutuhan pertahanannya tersebut.
1) Mengeluarkan uang kertas
2) Meningkatkan usaha pemasukan
4) Menjual tanah keada swasta
5) Dibentuknya dewan pengawas keuangan Negara
c. Bidang Peradilan
Untuk memperlancar jalannya pemerintahan dan mengatur ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat, Daendels juga melakukan perbaikan di bidang peradilan. Daendels berusaha memberantas berbagai penyelewengan dengan mengeluarkan berbagai peraturan.
1. Daendels membentuk tiga jenis peradilan: (1) peradilan untuk orangEropa, (2) peradilan untuk orang-orang Timur Asing, dan (3) peradilan untuk orang-orang pribumi. Peradilan untuk kaum pribumi dibentuk di setiap prefektur, misalnya di Batavia, Surabaya, dan Semarang.
2. Peraturan untuk pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu. Pemberantasan korupsi diberlakukan terhadap siapa saja termasuk orang-orang Eropa, dan Timur Asing.
d. Bidang Sosial-Ekonomi
Daendels juga diberi tugas untuk memperbaiki keadaan di Tanah Hindia, sembari mengumpulkan dana untuk biaya perang. Oleh karena itu, Daendels melakukan berbagai tindakan yang dapat mendatangkan keuntungan bagi pemerintah kolonial. Beberapa kebijakan dan tindakan Daendels itu misalnya:
1. Daendels memaksakan berbagai perjanjian dengan penguasa Surakarta dan Yogyakarta yang intinya melakukan penggabungan banyak daerah ke dalam wilayah pemerintahan kolonial, misalnya daerah Cirebon,
2. Meningkatkan usaha pemasukan uang dengan cara pemungutan pajak,
3. Meningkatkan penanaman tanaman yang hasilnya laku di pasarandunia,
4. Rakyat diharuskan melaksanakan penyerahan wajib hasil pertaniannya,
5. Melakukan penjualan tanah-tanah kepada pihak swasta.
6. Mengeluarkan uang kertas.
Dampak Kebijakan Pemerintahan Daendels di Indonesia (1808-1811)
1. Jawa (Tengah)
Seiring dengan adanya perjanjian Gianti pada tahun 1755, yang mengakibatkan perpecahan Negara Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta, menjadikan Daendels membuat sebuah kebijakan dengan merubah kekuasaan. Yaitu, melaui upacara penerimaan residen di Surakarta danYogyakarta. Dalam kebijakan itu, residen dikerajaan-kerajaan tersebut harus diberi penghormatan sebagai wakil suatu kekuasaan yang tertinggi dan menempatkannya sejajar dengan raja-raja.
Hubungannya dengan perpecahan daerah tersebut, di Surakarta kebijakan itu diterima. Sedangkan di Yogyakarta tidak seperti itu. Hal ini terlihat dari sikap Hamengkubono II yang menentang peraturan ini pada tahun 1810. Sehingga ia dipaksa turun dari tahtanya melalui expedisi militer dan digantikan oleh putra mahkota Daendels, dengan gelar Hamengkubono III.
Peristiwa ini membuat Daendels bisa memaksa Yogyakarta dan Surakarta menerima perjanjian baru pada tahun 1811 yang menyebabkan Surakarta dan Yogyakarta kehilangan sebagian dari wilayahnya. Pengaruh langsung dari pergantian kekuasaan tersebut, adalah persoalan otonomi pengaturan keuangan dan pembentukan angktan perang. Terlihat pada pergantian orang-orang jawa sebagai anggota intinya dengan orang-orang Madura, Makasar, Bali, dan Budak-budak dari daerah lain. Sistem kepangkatan dalam organisasi dan pengaturan ketentaraan yang bergaya Perancispun diterapkan pada masyarakat pribumi.
2. Bandung
Pada awalnya, Pembangunan Jalan Raya Pos ditujukan untuk kepentingan militer, akan tetapi lama kelamaan pembangunan ini malah memperkuat posisi perekonomian kota-kota yang dilaluinya, termasuk Bandung. Dampak positif dirasakan Bandung dari keberadaan jalan Raya Pos tersebut. Diantaranya terlihat pada posisi Bandung yang semakin strategis di mata pemerintah kolonial Belanda pasca diresmikannya Jalan Raya Pos. Posisi tersebut semakin kuat menyusul dibukanya jalur kereta api Batavia–Bandung melalui Bogor–Sukabumi-Cianjur dan jalur kereta api Batavia–Bandung melalui Purwakarta yang dibuka kemudian.
Pembukaan jalur transportasi Bandung–Batavia ini semakin memudahkan hubungan kedua kota dan kondisi ini mendorong semakin cepatnya pergerakan roda perekonomian di Bandung. Sampai pertengahan abad ke-18, perjalanan dari Batavia ke pedalaman Priangan dilakukan dengan menggunakan rakit atau perahu melewati Sungai Citarum atau Cimanuk. Menurut catatan perjalanan yang ditemukan E.C.G. Molsbergen (1935), baru pada tahun 1786 jalan setapak yang dapat dilewati kuda mulai menghubungkan Batavia–Bogor–Cianjur–Bandung. Jalur tersebut memiliki arti penting bagi kepentingan perekonomian kompeni Belanda, sebab pada tahun 1789 Pieter Engelhard telah membuka perkebunan kopi di lereng selatan Gunung Tangkubanparahu. Hasil tanaman kopi tersebut memberi panen yang sangat memuaskan pada tahun 1807 (Kunto, 1984:11). Akibatnya dengan pesatnya pembangunan Bandung ini telah mendorong perubahan dalam pengelolaan wilayah.
3. Batavia
Pada masa pemerintahannya, Daendels memindahkan ibukota pemerintahan dari Batavia ke Wallevreden. Lalu memindahkan tempat tinggalnya dari Batavia ke Buitenzorg (Bogor). Tempat tinggalnya itulah yang kini dikenal sebagai Istana Bogor.
Secara umum dampak pemerintahan dan kebijakan Daendels di Indonesia yaitu:
Dampak Positif:
– Dikeluarkannya uang kertas.
– Dibangunnya jalan Raya Pos di Bandung sehingga memudahkan perekonomian di Bandung.
Dampak negatif:
– Masyarakat Indonesia semakin miskin karena diharuskan membayar pajak.
– Masyarakat Indonesia dipaksa melakukan kerja rodi yang hasilnya untuk para koloni.
– Masyarakat Indonesia menderita.
– Kekayaan alam di Indonesia dikuras.
– Mempekerjakan orang-orang Indonesia demi kepentingan koloni.
– Sebagian wilayah Indonesia dikuasai oleh koloni.
– Terjadinya penentangan dari Raja-Raja Indonesia kepada Daendels.
2.5. PERGERAKAN RAJA JAWA ATAS SIKAP DAENDELS

Dalam upaya melakukan reorganisasi pemerintahan di Pantai Timur Laut Jawa, ia membubarkan pemerintahan Pantai Timur Laut Jawa dan menurunkan pejabatnya yang waktu itu dijabat oleh Nicolaas Engelhard. Langkah politik pertama Daendels khususnya terhadap raja-raja pribumi ditunjukkan dengan tuntutannya bahwa semua raja pribumi di Jawa tunduk kepada Raja Belanda, Louis Napoléon, yang berada di bawah perlindungan Kaisar Napoléon Bonaparte. Oleh karena itu, raja-raja pribumi harus menyatakan untuk tunduk, setia dan meminta perlindungan kepada raja Belanda dan Kaisar Prancis.

Bertolak dari kebijakan ini, Daendels mengubah hubungan antara pemerintah kolonial dan raja-raja Jawa sama seperti dengan raja Belanda, karena pemerintah Belanda di Batavia mewakili raja Belanda. Oleh karena itu, hubungan itu harus ditinjau kembali dan disesuaikan dengan status mereka. Langkah yang diambil oleh Daendels untuk mewujudkan maksud ini adalah dengan mengeluarkan peraturan baru. Daendels mengeluarkan dua peraturan penting, pertama adalah menghapuskan jabatan residen di masing-masing kerajaan Jawa dan menggantikannya dengan pejabat baru, yaitu minister. Berbeda dengan residen yang merupakan pegawai pemerintah kolonial, minister adalah utusan dari Raja Belanda di Batavia yang mewakili kepentingan penguasa Belanda di kraton-kraton Jawa. Dengan demikian minister memiliki kekuasaan penuh sebagai pemegang mandat dan wakil dari Gubernur Jenderal di Batavia.

Yang kedua, berkaitan dengan perubahan pertama, adalah dikeluarkannya peraturan baru oleh Daendels tentang tata upacara penyambutan minister di setiap kraton Jawa. Karena statusnya sebagai wakil penguasa Eropa, minister harus diperlakukan sejajar dengan raja Jawa dalam hal status dan kedudukannya. Minister berhak memakai simbol-simbol kekuasaan serta kebesaran seperti yang dipakai oleh raja-raja Jawa di dalam kraton. Minister juga tidak perlu melakukan aturan menurut tradisi Jawa yang merendahkan martabatnya seperti melepas topi, bersila dan duduk lebih rendah dari raja atau mempersembahkan sirih dan tuak kepada raja Jawa. Daendels memerintahkan agar segera menggantikan peraturan tata upacara lama dengan yang baru di kraton Jawa.15

Di Kesunanan Surakarta, Sunan PB IV segera menyanggupi untuk melaksanakannya. Sebaliknya di Kraton Yogya, peraturan baru yang hakekatnya mirip dengan tuntutan van Overstraten tahun 1792 itu ditolak oleh Sultan HB II. Pieter Engelhard, Minister pertama di Yogyakarta, tetap diperlakukan seperti residen Belanda sebelumnya. Ketika Pieter Engelhard menuntut agar peraturan itu dilaksanakan, Sultan HB II tidak bersedia menemuinya. Engelhard melaporkan hal ini kepada Daendels pada kesempatan kunjungan Daendels ke Semarang.

Setelah mendengar laporan Engelhard tentang sikap Sultan HB II, Daendels bermaksud untuk datang sendiri ke Yogya dengan maksud memaksa Sultan HB II untuk melaksanakannya. Ketika Sultan HB II mendengar berita bahwa Daendels bermaksud datang ke Yogyakarta dengan membawa sejumlah besar pasukan, Patih Danurejo II diperintahkan untuk menemuinya dan menyampaikan bahwa Sultan bersedia menerapkan aturan itu. Pertemuan Daendels dan Danurejo II berlangsung di Kemloko. Ketika mendengar laporan Danurejo II, Daendels membatalkan maksudnya untuk berkunjung ke Yogyakarta dan kembali ke Batavia melalui Surakarta.16

Persoalan kedua yang menimbulkan ketegangan antara Daendels dan Sultan HB II adalah tuntutan Daendels untuk pengambilalihan hak pengelolaan hutan dan penyerahan monopoli penebangan kayu milik raja-raja Jawa. Daendels menghendaki agar monopoli penebangan kayu dikuasai oleh pemerintah mengingat persediaan kayu di hutan-hutan pemerintah tidak lagi mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur pertahanan Jawa. Bagi Kesunanan Surakarta yang tidak memiliki banyak hutan, tuntutan itu bukan merupakan masalah. Sebaliknya, bagi Kesultanan Yogyakarta hal ini menjadi masalah besar, mengingat kayu menjadi salah satu sumber pendapatan utama kraton Yogyakarta.

Wilayah hutan Yogyakarta terletak di Monconegoro wetan, yaitu daerah Madiun sampai ke Mojokerto (dahulu bernama Japan). Wilayah ini diperintah oleh menantu Sultan HB II yang sekaligus menjadi panglima pasukan Kesultanan Yogyakarta, Raden Ronggo Prawirodirjo. Ketika Ronggo mendengar tuntutan Daendels, ia mengusulkan kepada Sultan HB II agar menolak tuntutan itu. Ronggo siap menjamin keselamatan Sultan dan Kesultanan apabila Daendels marah terhadap penolakan tersebut. Ronggo yang dianggap sering mengganggu penduduk di Delanggu (perbatasan Kraton Surakarta dan Yogyakarta) dianggap sebagai pemberontak oleh Daendels. Oleh karena itu, ia mendesak sultan untuk segera menyerahkan Ronggo kepada Daendels pada bulan November 1810.

Ronggo yang merasa memperoleh dukungan dari kraton Yogyakarta, khususnya dari kalangan kerabat kraton (Pangeran Notokusumo, Tumenggung Notodiningrat dan Tumenggung Sumodiningrat) menolak menyerahkan diri. Akibat tekanan yang terus menerus, akhirnya HB II bersedia memenuhi tuntutan Daendels untuk mengirim Ronggo, Notokusumo dan Notodiningrat ke Batavia. Di tengah perjalanan, Ronggo memisahkan diri dengan rombongan untuk kembali memberontak. Ronggo kembali ke Madiun dengan membakar desa-desa wilayah Kesunanan Surakarta.

Ketika pada akhir November 1810 Daendels mendengar berita kembalinya Ronggo ke Madiun, ia memerintahkan agar pasukan gabungan dibentuk di bawah Letnan Paulus dengan tujuan menangkap Ronggo hidup atau mati. Melalui Pieter Engelhard (Minister Yogyakarta), Daendels mendesak Sultan HB II agar ikut mengirim pasukan. Sultan HB II kemudian mengirim pasukan di bawah pimpinan Tumenggung Purwodipuro. Pasukan dari Yogyakarta mulai berangkat ke Madiun pada awal Desember 1810. Pasukan gabungan Belanda, Kesultanan, Kesunanan dan Legiun Prangwedanan ini berhasil merebut pusat pertahanan Ronggo di Maospati pada tanggal 5 Desember 1810. Ronggo yang terdesak mundur bersama sisa pasukannya melarikan diri ke Kertosono. Setelah dilakukan pengepungan oleh Letnan Paulus, akhirnya Ronggo berhasil ditembak mati pada tanggal 19 Desember 1810 dan jenazahnya dibawa ke Yogyakarta. 20 Atas perintah Daendels, jenazah Ronggo dipamerkan di alun-alun Yogyakarta sebagai peringatan bagi setiap orang yang menentang perintahnya.

Setelah Ronggo terbunuh, Daendels melihat bahwa pemerintah kolonial telah mengalami kerugian yang besar akibat dari pemberontakan yang dilakukan oleh ronggo, dan curiga keterlibatan Sultan HB II dalam peristiwa tersebut. Oleh karena itu, Daendels memutuskan untuk berangkat ke Yogyakarta dengan membawa 3.300 tentara. Pasukan sejumlah itu dibawa oleh Daendels untuk memaksa sultan agar bersedia melakukan perubahan di Kraton sekaligus menurunkan Sultan HB II dan mengangkat putranya menjadi sultan.

Berita kekalahan Ronggo baru diterima oleh Sultan tanggal 26 Desember 1810. Kematian Ronggo dilaporkan kepada Gubernur Jenderal yang saat itu sudah sampai di Kemloko yang jaraknya beberapa kilometer dari Yogyakarta. Dari Kemloko Daendels membalas surat HB II yang intinya sultan tidak perlu merasa takut karena ia hanya membawa 3.200 tentara yang digunakan untuk melindungi sultan dari musuh-musuhnya. Dalam surat itu juga dijelaskan bahwa 15 hingga 16 ribu tentara telah disiapkan untuk menuju ke Yogyakarta.

Pada tanggal 28 Desember sultan membalas surat Daendels yang intinya sultan bersedia menjalankan nasehat persahabatan Daendels. Setelah sampai di Yogyakarta, Daendels mengadakan pembicaraan dengan para pangeran kraton Yogyakarta yang intinya meminta dukungan untuk menurunkan Sultan HB II dari tahtanya dan menggantikannya dengan putra mahkota RM Surojo.

Pada tanggal 31 Desember 1810 Sultan HB II turun tahta. Ia tetap diizinkan tetap tinggal di kraton Yogyakarta. Putra mahkota diharuskan untuk menandatangani beberapa perjanjian dan kontrak politik baru. Dalam kontrak itu disebutkan bahwa penguasa penyambutan Minister, membayar biaya pengiriman pasukan, menyerahkan hak monopoli kayu dan pertukaran beberapa daerah Kesultanan dengan wilayah pemerintah. Selain itu, Daendels juga menuntut agar Pangeran Notokusumo dan Tumenggung Notodiningrat diserahkan kepadanya. Kedua orang ini kemudian dibawa oleh Daendels sebagai tawanan perang dan dimaksudkan akan dihukum mati. Untuk sementara keduanya ditawan di Cirebon di bawah pengawasan Residen Waterloo.
Perjanjian baru yang dibuat pada bulan Januari 1811 ini tidak sempat dilaksanakan, mengingat pada bulan Mei 1811 Daendels digantikan oleh Jan Willem Janssens. Janssens memusatkan perhatian pada pertahanan Jawa dari serangan Inggris. Meskipun dibantu oleh pasukan dari raja-raja Jawa, pertahanan Janssens tidak mampu menghadapi serbuan Inggris yang mendaratkan pasukannya pada tanggal 4 Agustus 1811. Setelah bertahan sekitar satu setengah bulan, Janssens menyerah pada tanggal 18 September 1811 di Tuntang. Sejak itu Jawa berada di bawah penguasaan kolonial Inggris dengan Thomas Stamford Raffles sebagai letnan gubernur jenderal.





3.1.  KESIMPULAN
Masa pemerintahan Daendels merupakan salah satu masa sulit yang harus dijalani bangsa Indonesia pada saat itu. Misinya dalam memperkuat pertahanan dan ketentaraan telah mengkorbankan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Daendels menerapkan sistem kerja paksa atau yang dikenal dengan kerja rodi dalam melakukan pembangunan jalan Anyer-Panarukan yang pada saat inimenjadi saksi bisu bagaimana sakit dan rintihan pekerja pribumi yang mati dalam pembuatan jalan tersebut.
Daendels dengan nama lengkap Herman Willem Daendels lahir di Hattem, Gelderland, Belanda pada 21 Oktober 1762. Daendels meninggal di Elmina, Belanda pada 2 Mei 1818 di umur 55 tahun. Daendels merupakan seorang politikus Belanda sekaligus pernah menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia - Belanda yang ke 36. Daendels memerintah Hindia Belanda pada periode 1808 - 1811 ketika Belanda di kuasai Perancis.
Pada tahun 1795 terjadi perubahan di Belanda. Muncullah kelompok yang menamakan dirinya kaum patriot. Kaum ini terpengaruh oleh semboyan Revolusi Perancis: liberte (kemerdekaan), egalite (persamaan), dan fraternite (persaudaraan). Berdasarkan ide dan paham yang digelorakan dalam Revolusi Perancis itu maka kaum patriot menghendaki perlunya negara kesatuan.Bertepatan dengan keinginan itu pada awal tahun 1795 pasukan Perancis menyerbu Belanda. Raja Willem V melarikan diri ke Inggris. Belanda dikuasai Perancis. Dibentuklah pemerintahan baru sebagai bagian dari Perancis yang dinamakan Republik Bataaf (1795-1806). Sebagai pemimpin Republik Bataaf adalah Louis Napoleon saudara dari Napoleon Bonaparte.
Daendels diangkat sebagai Gubernur Jenderal di Indonesia pada periode 1809 hingga 1811. Pengangkatan tersebut dilakukan oleh Louis Napoleon yang merupakan saudara dari Napoleon Bonaparte dan merupakan raja Belanda pada saat itu. Tugas utama dari Daendels adalah mempertahankan pulau Jawa dari serangan Inggris. Dalam usaha mempertahankan pulau Jawa, Daendels menerapkan pembangunan jalan dari Anyer sampai ke Panarukan. Jalan ini dikenal sebagai Grote Post-Weg (jalan raya pos) atau yang lebih dikenal dengan jalan pantura. Daendels dikenal dengan pemerintahannya yang diktator dengan tangan besi. Dari cerita berbagai sumber, pembangunan Grote Post Weg menembus Gunung Pulosari, Jiput, Menes, Pandeglang, Lebak, hingga ke Jasinya (Bogor). Pembangunan jalan ini menghabiskan waktu hanya satu tahun yaitu dari tahun 1809 hingga 1810 dengan tujuam mempermudah tibanya surat - surat dari Anyer menuju Panarukan.
Wilayah hutan Yogyakarta terletak di Monconegoro wetan, yaitu daerah Madiun sampai ke Mojokerto (dahulu bernama Japan). Wilayah ini diperintah oleh menantu Sultan HB II yang sekaligus menjadi panglima pasukan Kesultanan Yogyakarta, Raden Ronggo Prawirodirjo. Ketika Ronggo mendengar tuntutan Daendels, ia mengusulkan kepada Sultan HB II agar menolak tuntutan itu. Ronggo siap menjamin keselamatan Sultan dan Kesultanan apabila Daendels marah terhadap penolakan tersebut. Ronggo yang dianggap sering mengganggu penduduk di Delanggu (perbatasan Kraton Surakarta dan Yogyakarta) dianggap sebagai pemberontak oleh Daendels. Oleh karena itu, ia mendesak sultan untuk segera menyerahkan Ronggo kepada Daendels pada bulan November 1810.









DAFTAR PUSTAKA



Ananta T. Pramudya. 2005. Jalan Raya Pos Jalan Deandles. Lentera Di Pantara; Jakarta






No comments:

Post a Comment

Sambutan Rakyat Indonesia terhadap Jepang

Kedatangan Jepang di Indonesia pada awalnya disambut dengan senang hati oleh rakyat Indonesia. Jepang dielu-elukan sebagai “Saudara Tua” y...