rekomendasi

Monday 29 May 2017

PERISTIWA G30S/PKI

Hasil gambar untuk g30spki





3.1         Latar Belakang Peristiwa G30SPKI
PKI merupakan partai Stalinis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Sovyet. Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden – sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem “Demokrasi Terpimpin”. PKI menyambut “Demokrasi Terpimpin” Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.

Pada era “Demokrasi Terpimpin”, kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.
PKI telah menguasai banyak dari organisasi massa yang dibentuk Soekarno untuk memperkuat dukungan untuk rezim Demokrasi Terpimpin dan, dengan persetujuan dari Soekarno, memulai kampanye untuk membentuk “Angkatan Kelima” dengan mempersenjatai pendukungnya. Para petinggi militer menentang hal ini.
Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha menghindari bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI mementingkan “kepentingan bersama” polisi dan “rakyat”. Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan “Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi”. Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari “sikap-sikap sektarian” kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat “massa tentara” subyek karya-karya mereka.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ratusan ribu petani bergerak merampas tanah dari para tuan tanah besar. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para pemilik tanah. Untuk mencegah berkembangnya konfrontasi revolusioner itu, PKI mengimbau semua pendukungnya untuk mencegah pertentangan menggunakan kekerasan terhadap para pemilik tanah dan untuk meningkatkan kerjasama dengan unsur-unsur lain, termasuk angkatan bersenjata.

Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik AS. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama, jendral-jendral militer tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet.
Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis “rakyat”.
Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia berbicara tentang “perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis”.
Rezim Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka adalah milik pemerintahan NASAKOM. Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan rejim militer, menyatakan keperluan untuk pendirian “angkatan kelima” di dalam angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata.
Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka, depan jendral-jendral militer, berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa “NASAKOMisasi” angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerjasama untuk menciptakan “angkatan kelima”. Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara sedang diubah untuk memecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara.

3.2         Terjadinya Peristiwa G30SPKI
Pada 30 September 1965, enam jendral senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan  G30S/PKI tersebut.
Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:
o            Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani,
o            Mayjen TNI R. Suprapto
o            Mayjen TNI M.T. Haryono
o            Mayjen TNI Siswondo Parman
o            Brigjen TNI DI Panjaitan
o            Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo
Jenderal TNI A.H. Nasution juga disebut sebagai salah seorang target namun dia selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan AH Nasution, Lettu Pierre Tandean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.
Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:
o            AIP Karel Satsuit Tubun
o            Brigjen Katamso Darmokusumo
o            Kolonel Sugiono
Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.
Kronologi Penumpasan
Tanggal 1 Oktober 1965
Operasi penumpasan G 30 S/PKI dimulai sejak tanggal 1 Oktober 1965 sore hari. Gedung RRI pusat dan Kantor Pusat Telekomunikasi dapat direbut kembali tanpa pertumpahan darah oleh satuan RPKAD di bawah pimpinan Kolonel Sarwo Edhi Wibowo, pasukan Para Kujang/328 Siliwangi, dan dibantu pasukan kavaleri. Setelah diketahui bahwa basis G 30 S/PKI berada di sekitar Halim Perdana Kusuma, sasaran diarahkan ke sana.

Tanggal 2 Oktober 1965
Pada tanggal 2 Oktober, Halim Perdana Kusuma diserang oleh satuan RPKAD di bawah komando Kolonel Sarwo Edhi Wibowo atas perintah Mayjen Soeharto. Pada pikul 12.00 siang, seluruh tempat itu telah berhasil dikuasai oleh TNI – AD.

 Tanggal 3 Oktober 1965
Pada hari Minggu tanggal 3 Oktober 1965, pasukan RPKAD yang dipimpin oleh Mayor C.I Santoso berhasil menguasai daerah Lubang Buaya. Setelah usaha pencarian perwira TNI – AD dipergiat dan atas petunjuk Kopral Satu Polisi Sukirman yang menjadi tawanan G 30 S/PKI, tetapi berhasil melarikan diri didapat keterangan bahwa para perwira TNI – AD tersebut dibawah ke Lubang Buaya. Karena daerah terebut diselidiki secara intensif, akhirnya pada tanggal 3 Oktober 1965 titemukan tempat para perwira yang diculik dan dibunuh tersebut.. Mayat para perwira itu dimasukkan ke dalam sebuah sumur yang bergaris tengah ¾ meter dengan kedalaman kira – kira 12 meter, yang kemudian dikenal dengan nama Sumur Lubang Buaya.

Tanggal 4 Oktober 1965
Pada tanggal 4 Oktober, penggalian Sumur Lubang Buaya dilanjutkan kembali (karena ditunda pada tanggal 13 Oktober pukul 17.00 WIB hingga keesokan hari) yang diteruskan oleh pasukan Para Amfibi KKO – AL dengan disaksikan pimpinan sementara TNI – AD Mayjen Soeharto. Jenazah para perwira setelah dapat diangkat dari sumur tua tersebut terlihat adanya kerusakan fisik yang sedemikian rupa. Hal inilah yang menjadi saksi bisu bagi bangsa Indonesia betapa kejamnya siksaan yang mereka alami sebelum wafat.

Tanggal 5 Oktober 1965
Pada tanggal 5 Oktober, jenazah para perwira TNI – AD tersebut dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata yang sebelumnya disemayamkan di Markas Besar Angkatan Darat.

Tanggal 6 Oktober 1965
Pada tanggal 6 Oktober, dengan surat keputusan pemerintah yang diambil dalam Sidang Kabinet Dwikora, para perwira TNI – AD tersebut ditetapakan sebagai Pahlawan Revolusi.

Gerakan 30 September atau yang sering disingkat G 30 S PKI adalah sebuah kejadian yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 di mana enam pejabat tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha pemberontakan yang disebut sebagai usaha kudeta yang dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.
Pasca Kejadian
Pasca pembunuhan beberapa perwira TNI Angkatan Darat, PKI mampu menguasai dua sarana komunikasi vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Diumumkan pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.
Di Jawa Tengah dan DI.Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap Kolonel Katamso (Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala Staf Korem 072/Yogyakarta).Mereka diculik PKI pada sore hari 1 Oktober 1965.Kedua perwira ini dibunuh karena secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi. Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para “pemberontak” dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan. Pada tanggal 6 Oktober, Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan “persatuan nasional”, yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya untuk penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung “pemimpin revolusi Indonesia” dan tidak melawan angkatan bersenjata.
Penangkapan dan Pembantaian
Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua partai kelas buruh yang diketahui, ratusan ribu pekerja, dan petani Indonesia dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi.Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember).Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis (perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juga orang).Namun diduga setidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu. Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu “terbendung mayat”. Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali.
Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret)
Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret.Ia memerintah Suharto untuk mengambil “langkah-langkah yang sesuai” untuk mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya.Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI.
Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada tanggal 24 November, tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI, Nyoto.
Pertemuan Jenewa, Swiss
Menyusul peralihan kekuasaan ke tangan Suharto, diselenggarakanlah pertemuan antara para ekonom orde baru dengan para CEO korporasi multinasional di Swiss. Korporasi multinasional diantaranya diwakili perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank, dan Chase Manhattan. Kebijakan ekonomi pro liberal sejak saat itu diterapkan.

Peringatan
Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September.Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pada masa pemerintahan Soeharto, biasanya sebuah film mengenai kejadian tersebut juga ditayangkan di seluruh stasiun televisi di Indonesia setiap tahun pada tanggal 30 September. Selain itu pada masa Soeharto biasanya dilakukan upacara bendera di Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya dan dilanjutkan dengan tabur bunga di makam para pahlawan revolusi di TMP Kalibata.Namunsejak era Reformasi bergulir, film itu sudah tidak ditayangkan lagi dan hanya tradisi tabur bunga yang dilanjutkan.
3.3         Tuduhan atas Keterlibatan Soekarno dalam Peristiwa G30/SPKI
Sehari sebelum terjadi penculikan para Jenderal yang dikatakan sebagai anggota Dewan Jenderal, terjadi perbincangan singkat antara DN Aidit dengan Jenderal AH Nasutian di Istana Negara Jakarta. DN Aidit bertanya kepada Jenderal AH Nasution, "Diantara sederet penghargaan dan tanda jasa yang ada di Dada Jenderal, mana yang dari penumpasan PKI Madiun". Kemudian Jenderal AH Nasution menunjukkan salah satu dari tanda jasa yang ada di dadanya, kemudian DN Aidit meminta foto bersama dengan Jenderal yang menjabat MENKOHANKAM/KSAB itu. sumber ilustrasi: www.teguhtimur.com Aidit mendapat penghargaan sipil tertinggi Bintang Mahaputera kelas III langsung dari Presiden Soekarno di Istana Negara pada 19 September 1965, saat itu dia menjabat sebagai Menteri Koordinator. Jenderal AH Nasution lahir di Kotanopan, Sumatera Utara, pada 3 Desember 1918 dan DN Aidit lahir di Tanjung Pandan Belitung, 30 Juli 1923. Dua pemimpin beda generasi dan beda ideologi, mereka memiliki rekam jejak "permusuhan" sejak meletusnya pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948. Dimana AH Nasution selaku wakil panglima besar TNI memerintahkan untuk menumpas PKI atas perintah dari Presiden Soekarno. Sedangkan DN Aidit adalah salah satu tahanan atas keterlibatannya dalam pendirian Negara Soviet di Madiun oleh PKI. DN Aidit berhasil lolos dari tahanan di Wirogunan Yogyakarta karena aksi agresi Belanda I ke Yogyakarta kemudian melarikan diri ke Vietnam Utara. Tepatnya pada tanggal 18 September 1948 dengan dipimpin Muso di Madiun PKI mendirikan suatu Pemerintahan Soviet dan mengobarkan pemberontakan melawan pemerintah pusat yang dipimpin Ir Soekarno. Menanggapi hal tersebut Ir Soekarno berpidato pada tanggal 19 September 1948 yang berisi seruan untuk memilih "apakah akan mendukung Muso dengan PKI-nya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita Indonesia Merdeka, atau ikut Sukarno-Hatta, yang insya Allah, dengan bantuan Tuhan, akan memimpin negara RI merdeka, tidak dijajah oleh negara apa apun juga”. Setelah kejadian itu mereka diketemukan kembali di Istana Negara, dimana DN Aidit menjadi Ketua CC PKI dan AH Nasution sebagai MENKOHANKAM/KSAB dengan pangkat Jenderal Bintang 4. Seolah tidak ada dendam masa lalu, namun ternyata yang terjadi adalah dendam itu terbungkus rapi hingga diketahui setelah melutus G30S/PKI. Pada tahun 1964 sudah ada sebuah dokumen milik AD yang menyebutkan bahwa tujuan dari berdirinya PKI salah satunya adalah untuk merebut kekuasaan.

 Pada tanggal 12 Desember 1964 sebuah dokumen ditunjukkan oleh Chairul Saleh kepada Ir Sukarno dalam pertemuan bersama pemimpin semua Parpol di Istana Bogor. Dokumen itu bertanggalkan akhir Desember 1963 memuat garis-garis besar strategi PKI, antara lain: 1. Menggulingkan pemimpin yang borjuis, 2. Mengucilkan kelompok “Nasutionis” dan “orang-orang berkepala batu”, 3. Menolak pernyataan presiden Sukarno mengenai tidak adanya kelas-kelas dalam masyarakat Indonesia, 4. Menilai Nasakom sebagai “impian seorang idealis” yang pada hakekatnya bersifat “revisionisme”, dan 5. Militer harus diindoktrinasi dan meningkatkan pembentukan sel-sel di dalam tubuh militer. Namun dokumen itu ditolak oleh DN Aidit, sehingga terjadi perdebatan yang seru hingga kemudian bisa diselesaikan secara musyawarah oleh Ir Soekarno. Muncul juga pernyataan dari pejabat Belanda di NATO yang menyatakan bahwa Indonesia akan jatuh ke tangan Barat seperti apel busuk. Agen-agen intelijen Barat merencanakan suatu premature communist coup, sehingga Angkatan Darat Indonesia punya alasan untuk menumpas PKI, sekaligus menjadikan Sukarno sebagai sandera”. Kali ini AD yang diisukan akan membuat pengambil alihan kekuasaan, meskipun diantara para pimpinan AD sendiri memiliki "permusuhan". Pertanyaannya adalah "bagian" dari AD yang mana yang akan memberontak? Kemudian disusul dokumen lagi dari Kedubes Amerika tanggal 21 Januari 1965. Kedutaan Besar Amerika di Jakarta mengirim telegram kepada Department of State di Washington, melaporkan tentang pertemuan antara seorang pejabat Kedutaan dengan Mayjen S.Parman yang menyampaikan adanya perasaaan kuat di dalam segment top military command untuk melakukan pengambilan kekuasaan sebelum Sukarno meninggal dunia, didorong oleh kegiatan PKI untuk mewujudkan Angkatan ke-V. Kup harus dilakukan dengan cermat seakan-akan kepemimpinan Sukarno masih tetap utuh. Di sekitar tanggal ini pula CIA menyampaikan memorandum kepada pemerintah Amerika bahwa: Amerika bukan hanya menghadapi bahaya dari Sukarno, melainkan juga keadaan ketidak-pastian dari suatu kemungkinan Indonesia tanpa Sukarno. Disusul kemudian adanya surat foto copy yang disampaikan Ketua BPI (Biro Pusat Intelejen)/Menlu Dr Subandrio dalam sidang kabinet tanggal 25 Mei 1965. Surat itu berasal dari Dubes Inggris di Jakarta, Sir Andrew Gillchrist kepada Sekretaris Muda Kementerian Inggris di London, Sir Harold Cassia yang berisi: “ Duta Besar Jones pada pokoknya sepakat dengan pendirian kita….. perlu mengambil langkah-langkah baru untuk menciptakan koordinasi yang lebih baik, dan ia mengatakan tidak perlu menekankan keharusan untuk membuat rencana itu menjadi sukses. Saya telah berjanji akan membuat persiapan-persiapan yang diperlukan …… Akan baik untuk menekankan sekali lagi kepada para sahabat kita di dalam Angkatan Darat (our local army friends) bahwa kehati-hatian yang paling saksama, disiplin dan koordinasi, adalah esensial dari suksesnya usaha ….” Dalam hal itu Ir Soekarno menanyakannya kepada AD, dan dijawab oleh Letjend Ahmad Yani bahwa pernah ada di dalam AD yang namanya Dewan Jenderal yang bertugas dalam rangka penetapan jabatan dan kenaikan pangkat Jenderal, namun kemudian sudah diganti dengan WANJAKTI (Dewan Pertimbangan jabatan dan Kepangkatan Tertinggi). Presiden Soekarno sudah merasa puas, namun karena sebab yang belum diketahui beliau memiliki rasa tidak suka dengan beberapa pimpinan AD. Bahkan pada menjelang September tahun 1965, Presiden Soekarno pernah memerintahkan agar beberapa Jenderal yang tidak loyal kepadanya diberikan tindakan. Hal inilah yang menjadi dasar pada akhirnya MPRS mengeluarkan TAP MPRS No XXXIII/1967 tentang keterlibatannya dalam G 30S/PKI. Lewat TAP Nomor XXX/MPRS/1966, Jenderal AH Nasution selaku ketua MPRS menyatakan mencabut Bintang Mahaputera Kelas III dari Aidit dengan alasan, "ajaran dan tindakan-tindakannya telah mengkhianati Pancasila dan Revolusi Indonesia." Dan juga mengeluarkan TAP tentang pembubaran PKI yaitu Ketetapan MPRS Nomor XXIV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi terlarang di seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunis/Marxisme Leninisme. Pers termasuk Televisi dalam perundang-undangan penyiaran terikat oleh aturan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran yang disusun oleh KPI yang pada pasal III poin A berbunyi: KEKERASAN Lembaga penyiaran memang lazim dan bahkan dalam kasus-kasus tertentu merasa wajib melaporkan atau menyiarkan kekerasan.Kekerasan dalam hal ini mencakup hal-hal yang memang sungguh terjadi dalam kehidupan sehari-hari maupun hal-hal yang termuat dalam program fiksi.Namun, terdapat sejumlah pertimbangan yang harus diperhatikan dalam penyajian kekerasan melalui lembaga penyiaran. Mencegah jangan sampai tayangan tersebut menimbulkan hilangnya kepekaan masyarakat terhadap kekerasan dan korban kekerasan. Mencegah agar masyarakat tidak berlaku apatis terhadap gejala kekerasan Mencegah efek peniruan Mencegah agar tidak timbul rasa ketakutan yang berlebihan Mencegah agar masyarakat tidak menerima pandangan bahwa kekerasan adalah jalan keluar yang dapat diterima dan dibolehkan Diorama adalah sebuah bentuk siaran, dimana ditampilkan adanya patung-patung yang menggambarkan sebuah peristiwa. Termasuk didalamnya adalah diorama peristiwa G30S/PKI. Maksud dari adanya diorama itu sungguh tidak tercapai. Kenyataan kekerasan bukannya berkurang namun justru lebih banyak lagi. Bahkan lebih sadis dari yang ada di diorama. Menggambarkan peristiwa penyiksaan sama halnya dengan mengajarkan caranya menyiksa. Diorama seakan-akan mengajarkan bagaimana menyiksa, dan kepada siapa dilakukannya. Diorama juga seakan akan-akan mengajak untuk mengingat kekejaman itu, dan juga berharap agar tidak terulang kembali.

3.4     Nawaksara Presiden
Pidato Nawaksara adalah dokumen sejarah yang menarik. Pidato yang diucapkan Sukarno di depan Sidang Umum MPRS ke-IV ini menandai titik balik era Demokrasi Terpimpin. Era Demokrasi Terpimpin dimulai ketika terbitnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Demokrasi ala Sukarno yang memunculkan kesimpulan kepala pemerintahan memiliki kekuasaan tak berhingga. Dan komando politik Indonesia berada di telunjuk Sukarno. Era ini mencuatkan kekuatan baru dalam kancah politik yakni Partai Komunis Indonesia (PKI). Kekuatan politik seperti Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Masyumi sudah diberangus terlebih dahulu. Di sisi lain, TNI-AD hadir sebagai pengimbang PKI. Pidato ini ialah pertanggung jawaban Sukarno selaku Presiden Republik Indonesia. Pidato ini disampaikan untuk menjawab permintaan MPRS yang meminta penjelasan tentang peristiwa 30 September, dan kemerosotan ekonomi. Menjawab permintaan majelis rakyat, Soekarno mengurai tiga keterangan pokok yang berkaitan dengan peristiwa G-30 S:
(a) keblingeran pimpinan PKI,
(b) subversi neo-kolonialisme dan imperialisme (nekolim), dan
(c) adanya oknum-oknum yang “tidak benar”. Sukarno menuding kekuatan kontra-revolusi dari dalam negeri dan kekuatan nekolim bersatu padu berupaya menggulingkannya dengan Gerakan 30 September.
Nawaksara ini pula menjadi langkah awal peralihan kekuasaan dari Sukarno ke Suharto. Pimpinan MPRS (diketuai AH Nasution, dan wakil ketua Osa Maliki, HM Subchan ZE, M Siregar, dan Mashudi) lewat keputusan nomor 5/MPRS/1996 tertanggal 5 Juli 1966 meminta Panglima Besar Revolusi untuk melengkapi pidato tersebut.

Naskah Nawaksara Presiden
Saudara-saudara sekalian,
I. RETROSPEKSI
Dengan mengucap Syukur Alhamdulillah, maka pagi ini saya berada di muka Sidang Umum MPRS yang ke-lV. Sesuai dengan Ketetapan MPRS No.I/1960 yang memberikan kepada diri saya, Bung Karno, gelar Pemimpin Besar Revolusi dan kekuasaan penuh untuk melaksanakan Ketetapan-ketetapan tersebut, maka dalam Amanat saya hari ini saya ingin mengulangi lebih dulu apa yang pernah saya kemukakan dalam Amanat saya di muka Sidang Umum ke-ll MPRS pada tanggal 15 Mei 1963, berjudul “Ambeg Parama-Arta” tentang hal ini:
1. Pengertian Pemimpin Besar Revolusi.
Dalam pidato saya “Ambeg Parama-Arta” itu, saya berkata: “MPRS telah memberikan KEKUASAAN PENUH kepada saya untuk melaksanakannya, dan dalam memberi kekuasaan penuh kepada saya itu, MPRS menamakan saya bukan saja Presiden, bukan saja Panglima Tertinggi Angkatan Perang, tetapi mengangkat saya juga menjadi: “PEMIMPIN BESAR REVOLUSI INDONESIA”.
Saya menerima pengangkatan itu dengan sungguh rasa terharu, karena MPRS sebagai Perwakilan Rakyat yang tertinggi di dalam Republik Indonesia, menyatakan dengan tegas dan jelas bahwa saya adalah “Pemimpin Besar Revolusi Indonesia”, yaitu: “PEMIMPIN BESAR REPUBLIK RAKYAT INDONESIA”!
Dalam pada itu, saya sadar, bahwa hal ini bagi saya membawa konsekuensi yang amat besar! Oleh karena seperti Saudara-saudara juga mengetahui, PEMIMPIN membawa pertanggungan-jawab yang amat berat sekali!!
“Memimpin” adalah lebih berat daripada sekedar “Melaksanakan”. “Memimpin” adalah lebih berat daripada sekedar menyuruh melaksanakan”!
Saya sadar, lebih daripada yang sudah-sudah, setelah MPRS mengangkat saya menjadi “Pemimpin Besar Revolusi”, bahwa kewajiban saya adalah amat berat sekali, tetapi Insya Allah S.W.T. saya terima
pengangkatan sebagai “Pemimpin Besar Revolusi” itu dengan rasa tanggung jawab yang setinggi-tingginya!
Saya Insya Allah, akan beri pimpinan kepada Indonesia, kepada Rakyat Indonesia, kepada Saudara-saudara sekalian, secara maksimal di bidang pertanggungan-jawab dan kemampuan saya. Moga-moga Tuhan Yang Maha Kuasa, Yang Maha Murah, dan Maha Asih, selalu memberikan bantuan kepada saya secukup-cukupnya!
Sebaliknya, kepada MPRS dan kepada Rakyat Indonesia sendiri, hal ini pun membawa konsekuensi! Tempohari saya berkata: “Jikalau benar dan jikalau demikianlah Keputusan MPRS, yang saya diangkat menjadi Pemimpin Revolusi Besar Indonesia, Revolusi Rakyat Indonesia, maka saya mengharap seluruh Rakyat, termasuk juga segenap Anggota MPRS, untuk selalu mengikuti, melaksanakan, menfi’ilkan segala apa yang saya berikan dalam pimpinan itu! Pertanggungan-jawab yang MPRS, sebagai Lembaga Tertinggi Republik Indonesia letakkan di atas pundak saya, adalah suatu pertanggungan-jawab yang berat sekali, tetapi denganridha Allah S.W.T. dan dengan bantuan seluruh Rak yat Indonesia, termasuk di dalanlnya juga Saudara-saudara para Anggota MPRS sendiri, saya percaya, bahwa Insya Allah, apa yang digariskan oleh Pola Pembangunan itu dalam 8 tahun akan terlaksana!
Demikianlah Saudara-saudara sekalian beberapa kutipan daripada Amanat “Ambeg Parama-Arta”.
Saudara-saudara sekalian,
Dari Amanat “Ambeg Parama-Arta” tersebut, dapatlah Saudara ketahui, bagaimana visi serta interpretasi saya tentang predikat Pemimpin Besar Revolusi yang Saudara-saudara berikan kepada saya.
Saya menginsyafi, bahwa predikat itu adalah sekedar gelar, tetapi saya pun – dan dengan saya semua ketentuan-ketentuan progresif revolusioner di dalam masyarakat kita yang tak pernah absen dalam kancahnya Revolusi kita – saya pun yakin seyakin-yakinnya, bahwa tiap Revolusi mensyarat-mutlakkan adanya Pimpinan Nasional. Lebih-lebih lagi Revolusi Nasional kita yang multi-kompleks sekarang ini, dan yang berhari depan Sosialisme Panca-Sila. Revolusi demikian ta’ mungkin tanpa adanya pimpinan. Dan pimpinan itu jelas tercermin dalam tri-kesatuannya Re-So-Pim, yaitu Revolusi, Sosialisme, dan Pimpinan Nasional.
2. Pengertian Mandataris MPRS.
Karena itulah, maka pimpinan yang saya berikan itu adalah pimpinan di segala bidang. Dan sesuai dengan pertanggungan-jawab saya terhadap MPRS, pimpinan itu terutarna menyangkut garis-garis besarnya. Ini pun adalah sesuai dan sejalan dengan kemurnian bunyi aksara dan jiwa Undang-Undang Dasar ‘45, yang menugaskan kepada MPRS untuk menetapkan garis-garis besar haluan Negara. Saya tekankan garis-garis besarnya saja dari haluan Negara. Adalah tidak sesuai dengan jiwa dan aksara kemurnian Undang-Undang Dasar ‘45, apabila MPRS jatuh terpelanting kembali ke dalam alam Liberale democratie, dengan beradu
debat dengan bertele-tele tentang garis-garis kecil, di mana masing-masing golongan beradu untuk memenangkan kepentingan-kepentingan golongan dan mengalahkan kepentingan nasional, kepentingan Rakyat banyak, kepentingan Revolusi kita!
Pimpinan itu pun saya dasarkan kepada jiwa Panca-Sila, yang telah kita pancarkan bersama dalam Manipol-Usdek sebagai garis-garis besar haluan Negara. Dan lebih-lebih mendalam lagi, maka saya telah mendasarkan pimpinan itu kepada Sabda Rasulullah S.A.W.: “Kamu sekalian adalah Pemimpin, dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungan-jawabnya tentang kepemimpinan itu di hari kemudian.”
Saudara-saudara sekalian,
Itulah jiwa daripada pimpinan saya, seperti yang telah saya nyatakan dalam Amanat “Ambeg Parama-Arta” tersebut tadi. Dan Saudarasaudara telah membenarkan amanat itu, terbukti dengan Ketetapan MPRS No.IV/1963, yang menjadikan Resopim dan Ambeg Parama-Arta masing-masing sebagai pedoman pelaksanaan garis-garis besar haluan Negara, dan sebagai landasan kerja dalam melaksanakan Konsepsi Pembangunan seperti terkandung dalam Ketetapan MPRS No.l dan 11 tahun 1960.
3. Pengertian Presiden seumur hidup
Malahan dalam Sidang Umum MPRS ke-ll pada bulan Mei tahun 1963 itu Saudara-saudara sekalian telah menetapkan saya menjadi Presiden se-umur-hidup. Dan pada waktu itu pun saya telah menjawab keputusan Saudara-saudara itu dengan kata-kata: “Alangkah baiknya jikalau nanti MPR, yaitu MPR hasil pemilihan-umum, masih meninjau soal ini kembali.” Dan sekarang ini pun saya masih tetap berpendapat demikian!
II. LANDASAN-KERJA MELANJUTKAN PEMBANGUNAN.
Kembali sekarang sebentar kepada Amanat “Ambeg Parama-Arta” tersebut tadi itu. Amanat itu kemudian disusul dengan amanat saya “Berdikari” pada pembukaan Sidang Umum MPRS ke-lll pada tanggal 11 April 1965, di mana dengan tegas saya tekankan tiga hal:
1. Trisakti.
Pertama : bahwa Revolusi kita mengejar suatu Idee Besar, yakni melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat; Amanat Penderitaan Rakyat seluruhnya, seluruh rakyat sebulat-bulatnya.
Kedua : bahwa Revolusi kita berjoang mengemban Amanat Penderitaan Rakyat itu dalam persatuan dan kesatuan yang bulat-menyeluruh dan hendaknya jangan sampai watak Agung Revolusi kita, diselewengkan sehingga mengalami dekadensi yang hanya mementingkan golongann-ya sendiri saja, atau hanya sebagian dari Ampera saja!
Ketiga : bahwa kita dalam melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat itu tetap dan tegap berpijak dengan kokoh-kuat atas landasan Trisakti, yaitu berdaulat dan bebas dalam politik, berkepribadian dalam kebudayaan dan berdikari dalam ekonomi; sekali lagi berdikari dalam ekonomi!. Saya sangat gembira sekali, bahwa Amanat-amanat saya itu dulu, baik “Ambeg Parama-Arta”, maupun “Berdikari” telaK Saudara-saudara tetapkan sebagai landasan-kerja dan pedoman pelaksanaan Pembangunan Nasional Semesta Berencana untukmasa 3 tahun yang akan datang, yaitu sisa jangka-waktu tahapan pertama mulai tahun 1966 s/d 1968 dengan landasan “Berdikari di atas Kaki Sendiri” dalam ekonomi. Ini berarti, bahwa Lembaga Tertinggi dalam Negara kita, Lembaga Tertinggi dari Revolusi kita, Lembaga Negara Tertinggi yang menurut kemurnian jiwa dan aksaranya UUD-Proklamasi kita adalah penjelmaan kedaulatan Rakyat, membenarkan Amanat-amanat saya itu. Dan tidak hanya membenarkan saja, melainkan juga menjadikannya sebagai landasan-kerja serta pedoman bagi kita-semua, ya bagi Presiden/Mandataris MPRS/Perdana Menteri ya, bagi MPRS sendiri, ya bagi DPA, ya bagi DPR, ya bagi Kabinet, ya bagi parpol-parpol dan ormas-ormas, ya bagi ABRI, dan bagi seluruh Rakyat kita dari Sabang sampai Merauke, dalam mengemban bersama Amanat Penderitaan Rakyat. Memang, di dalam situasi nasional dan internasional dewasa ini, maka Trisakti kita, yaitu berdaulat dan bebas dalam politik, berkepribadian dalam kebudayaan, berdikari di bidang ekonomi, adalah senjata yang paling ampuh di tangan seluruh rakyat kita, di tangan prajuritprajurit Revolusi kita, untuk menyelesaikan Revolusi Nasional kita yang maha dahsyat sekarang ini.
2. Rencana Ekonomi Perjoangan.
Terutama prinsip Berdikari di bidang ekonomi! Sebab dalam keadaan perekonomian bagaimanapun sulitnya, saya minta jangan dilepaskan jiwa “self-reliance” ini, jiwa percaya kepada kekuatan-diri-sendiri, jiwa self-help atau jiwa berdikari. Karenanya, maka dalam melaksanakan Ketetapan-ketetapan MPRS No.V dan Vl tahun 1965 yang lalu, saya telah meminta Bappenas dengan bantuan dan kerja sama dengan Muppenas, untuk menyusun garis-garis lebih lanjut daripada Pola Ekonomi Perjoar gan seperti yang telah saya canangkan dalam Amanat Berdikari tahun yang lalu.
Garis-garis Ekonomi Perjoangan tersebut telah selesai, dan saya lampirkan bersama ini Ikhtisar Tahunan tentang pelaksanaan Ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960. Di dalamnya Saudara-saudara akan memperoleh gambaran tentang Strategi Umum Pembangunan 2 tahun 1966-1968, yaitu Pra-syarat Pembangunan, dan pola Pembiayaan tahun 1966 s/d 1968 melalui Rencana Anggaran 3 tahun.
3. Pengertian Berdikari.
Khusus mengenai Prinsip Berdikari ingin saya tekankan apa yang” telah saya nyatakan dalam pidato Proklamasi 17 Agustus 1965, yaitu pidato Takari, bahwa berdikari tidak berarti mengurangi, melainkan memperluas kerjasama internasional, terutama antara semua negara yang baru merdeka.
Yang ditolak oleh Berdikari adalah ketergantungan kepada imperialis, bukan kerja sama yang sama-derajat dan saling me nguntungkan.
Dan di dalam Rencana Ekonomi Perjoangan yang saya sampaikan bersama ini, maka Saudara-saudara dapat membaca bahwa: “Berdikari bukan saja tujuan, tetapi yang tidak kurang pentingnya harus merupakan prinsip dari cara kita mencapai tujuan itu, prinsip untuk melaksanakan Pembangunan dengan tidak menyandarkan diri kepada bantuan negara atau bangsa lain. Adalah jelas, bahwa tidak menyandarkan diri tidak berarti bahwa kita tidak mau kerja sama berdasarkan sama-derajat dan saling menguntungkan.”
Dalam rangka pengertian politik Berdikari demikian inilah, kita harus menanggulangi kesulitan-kesulitan di bidang Ekubang kita dewasa ini, baik yang hubungan dengan inflasi maupun yang hubungan dengan pembayaran hutang-hutang luar negeri kita.
III. HUBUNGAN POLITIK DAN EKONOMI
Masalah Ekubang tidak dapat dilepaskan dari masalah politik, malahan harus didasarkan atas Manifesto Politik kita.
Dekon kita pun adalah Manipohdi bidang ekonomi, atau dengan lain perkataan “political-economy”-nya pembangunan kita. Dekon merupakan strategi-umum, dan strategi-umum di bidang pembangunan 3 tahun di depan kita, yaitu tahun 1966–1968, didasarkan atas pemeliharaan hubungan yang tepat antara keperluan untuk melaksanakan tugas politik dan tugas ekonomi. Demikianlah tugas politik-keamanan kita, politik-pertahanan kita, politik dalam-negeri kita, politik luar-negeri kita dan sebagainya.
IV. DETAIL KE-DPR
Detail dari tugas-tugas ini kiranya tidak perlu diperbincangkana dalam Sidang Umum MPRS, karena tugas MPRS ialah menyangkut garisgaris besarnya saja. Detailnya seyogyanya ditentukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan DPR, dalam rangka pemurnian pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945.
V. TETAP DEMOKRASI TERPIMPIN
Sekalipun demikian perlu saya peringatkan di sini, bahwa UndangUndang Dasar 1945 memungkinkan Mandataris MPRS bertindak lekas dan tepat dalam keadaan darurat demi keselamatan Negara, Rakyat dan Revolusi kita.
Dan sejak Dekrit 5 Juli 1959 dulu itu, Revolusi kita terus meningkat dan bergerak cepat, yang mau-tidak-mau mengharuskan semua Lembaga-lembaga Demokrasi kita untuk bergerak cepat pula tanpa menyelewengkan Demokrasi Terpimpin kita ke arah Demokrasi Liberal.
VI. MERINTIS JALAN KE ARAH PEMURNIAN PELAKSANAAN UUD 1945
Dalam rangka merintis jalan ke arah kemurnian pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 itulah, saya dengan surat saya tertanggal 4 Mei 1966 kepada Pimpinan DPRGR memajukan:
a. RUU Penyusunan MPR, DPR dan DPRD.
b. RUU Pemilihan Umum.
c. Penetapan Presiden No.3 tahun 1959 jo. Penetapan Presiden No.3 tahun 1966 untuk diubah menjadi Undang-Undang supaya DPA dapat ditetapkan menurut pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
VII. WEWENANG MPR DAN MPRS
Tidak lain harapan saya ialah hendaknya MPRS dalam rangka pemurnian pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 itu menyadari apa tugas dan fungsinya, juga dalam hubungan-persamaan dan perbedaannya dengan MPR hasil pemilihan-umum nanti.
Wewenang MPR selaku pelaksanaan kedaulatan Rakyat adalah menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan Negara (pasal 3 UUD), serta memilih Presiden dan Wakil Presiden (pasal 6 UUD ayat 2).
Undang-Undang Dasar serta garis-garis besar haluan Negara telah kita tentukan bersama, yaitu Undang-Undang Dasar Proklamasi 1945 dan Manipol/Usdek.
VIII. KEDUDUKAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN
Undang-Undang Dasar 1945 itu menyebut pemilihan jabatan Presiden dan Wakil Presiden, masa jabatannya serta isi-sumpahnya dalam satu nafas, yang tegas bertujuan agar terjamin kesatuan-pandangan, kesatuan-pendapat, kesatuan-pikiran dan kesatuan-tindak antara Presiden dan Wakil Presiden, yang membantu Presiden (pasal 4 ayat 2 UUD).
Dalam pada itu, Presiden memegang dan menjalankan tugas, wewenang dan kekuasaan Negara serta Pemerintahan. (pasal 4, 5, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, ayat 2).
Jiwa kesatuan antara kedua pejabat Negara ini, serta pembagian tugas dan wewenang seperti yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945 hendaknya kita sadari sepenuhnya.
IX. PENUTUP
Demikian pula hendaknya kita semua, di luar dan di dalam MPRS menyadari sepenuhnya perbedaan dan persamaannya antara MPRS sekarang, dengan MPR-hasil-pemilihan-umum yang akan datang, agar supaya benar-benar kemurnian pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 dapat kita rintis bersama, sambil membuka lembaran baru dalam sejarah kelanjutan Revolusi Panca-Sila kita.
Demikianlah Saudara-saudara, teks laporan progress saya kepadaMPRS. lzinkanlah saya sekarang mengucapkan beberapa patah kata pribadi kepada Saudara-saudara, terutama sekali mengenai pribadi saya.
Lebih dahulu tentang hal laporan progress ini.
Laporan progress itu saya simpulkan dalam sembilan pasal, sembilan golongan, sembilan punt. Maka oleh karena itu saya ingin memberi judul kepada amanat saya tadi itu. Sebagaimana biasa saya memberi judul kepada pidato-pidato saya, ada yang bernama Resopim, ada yang bernama Gesuri dan lain-lain sebagainya. Amanat saya ini, saya beri judul apa? Sembilan perkara, pokok, pokok, pokok, pokok, saya tuliskan di dalam Amanat ini. Karena itu saya ingin memberi nama kepada Amanat ini, kepada pidato ini “Pidato Sembilan Pokok”. Sembilan, ya sembilan apa? Kita itu biasa memakai bahasa Sanskrit kalau memberi nama kepada amanat-amanat, bahkan kita sering memakai perkataan Dwi, Tri, Tri Sakti, dua-duanya perkataan Sanskrit. Catur Pra Setia, catur-empat setia, kesetiaan, Panca Azimat, Panca adalah lima. Ini sembilan pokok; ini saya namakan apa?
Sembilan di dalam bahasa Sanskrit adalah “Nawa”. Eka, Dwi, Tri, Catur, Panca, enam-yam, tujuh-sapta, delapan-hasta, sembilan-nawa, sepuluh-dasa. Jadi saya mau beri nama dengan perkataan “Nawa”. “Nawa” apa? Ya, karena saya tulis, saya mau beri nama “NAWA AKSARA”, dus “NAWA iAKSARA” atau kalau mau disingkatkan “NAWAKSARA”. Tadinya ada orang yang mengusulkan diberi nama “Sembilan Ucapan Presiden”. “NAWA SABDA”. Nanti kalau saya kasih nama Nawa Sabda, ada saja yang salah-salah berkata: “Uh, uh, Presiden bersabda”. Sabda itu seperti raja bersabda. Tidak, saya tidak mau memakai perkataan “sabda” itu, saya mau memakai perkataan “Aksara”; bukan dalam arti tulisan, jadi ada aksara latin, ada aksara Belanda dan sebagainya. NAWA AKSARA atau NAWAKSARA, itu judul yang saya berikan kepada pidato ini. Saya minta wartawan-wartawan mengumumkan hal ini, bahwa pidato Presiden dinamakan oleh Presiden NAWAKSARA . ,
Kemudian saya mau menyampaikan beberapa patah kata mengenai diri saya sendiri. Saudara-saudara semua mengetahui, bahwa tatkala saya masih muda, masih amat muda sekali, bahwa saya miskin dan oleh karena saya miskin, maka demikianlah saya sering ucapkan: “Saya tinggalkan this material world. Dunia jasmani sekarang ini laksana saya tinggalkan, karena dunia jasmani ini tidak memberi hiburan dan kepuasan kepada saya, oleh karena saya miskin.” Maka
saya meninggalkan dunia jasmani ini dan saya masuk katagori dalam pidato dan keterangan-keterangan yang sering masuk ke dalam world of the mind. Saya meninggalkan dunia yang material ini, saya masuk di dalam world of the mind. Dunianya alam cipta, dunia khayal, dunia pikiran. Dan telah sering saya katakan, bahwa di dalam wolrd of the mind itu, di situ saya berjumpa dengan orang-orang besar dari segala bangsa dan segala negara. Di dalam world of the mind itu saya berjumpa dengan nabi-nabi besar; di dalam world of the mind itusaya berjumpa dengan ahli falsafah, ahli falsafah besar. Di dalam world of the mind itu saya berjumpa dengan pemimpin-pemimpin bangsa yang besar, dan di dalam world of the mind itu saya berjumpa dengan pejuang-pejuang kemerdekaan yang berkaliber besar.
Saya berjumpa denganorang-orang besar ini, tegasnya, jelasnya dari membaca buku-buku. Salah satu pemimpin besar daripada sesuatu bangsa yang berjuang untuk kemerdekaan, ia mengucapkan kalimat sebagai berikut: “The cause of freedom is a deathless cause. The cause of freedom is a deathless cause. Perjuangan untuk kemerdekaan adalah satu perjuangan yang tidak mengenal mati. The cause of freedom is a deathless cause.
Sesudah saya baca kalimat itu dan renungkan kalimat itu, bukan saja saya tertarik kepada cause of freedom daripada bangsa saya sendiri dan bukan saja saya tertarik pada cause of freedom daripada seluruh umat manusia di dunia ini, tetapi saya, karena tertarik kepada cause of freedom ini saya menyumbangkan diriku kepada deathless cause ini, deathless cause of my own people, deathless cause of all people on this. Dan lantas saya mendapat keyakinan, bukan saja the cause of freedom is a deathless cause, tetapi juga the service of freedom is a deathless service. Pengabdian kepada perjuangan kemerdekaan, pengabdian kepada kemerdekaan itupun tidak mengenal maut, tidak mengenal habis. Pengabdian yang sungguh-sungguh pengabdian, bukan service yang hanya lip-service, tetapi service yang betul-betul masuk di dalam jiwa, service yang betul-betul pengabdian, service yang demikian itu adalah satu deathless service.
Dan saya tertarik oeh saya punya pendapat sendiri, pendapat pemimpin besar daripada bangsa yang saya sitir itu tadi, yang berkata “the cause of freedom is deathless cause”. Saya berkata “not only the cause of freedom is deathless cause, but also the service of freedom is a deatheless service”.
Dan saya, Saudara-saudara, telah memberikan, menyumbangkan atau menawarkan diri saya sendiri, dengan segala apa yang ada pada saya ini, kepada service of freedom, dan saya sadar sampai sekarang: the service of freedom is deathless service, yang tidak mengenal akhir, yang tidak mengenal mati. Itu adalah tulisan isi hati. Badan manusia bisa hancur, badan manusia bisa dimasukkan di dalam kerangkeng, badan manusia bisa dimasukkan di dalam penjara, badan manusia bisa ditembak mati, badan manusia bisa dibuang ke tanah pengasingan yang jauh dari tempat kelahirannya, tetapi ia punya service of freedom tidak bisa ditembak mati, tidak bisa dikerangkeng, tidak bisa dibuang di tempat pengasingan, tidak bisa ditembak mati.
Dan saya beritahu kepada Saudara-saudara, menurut perasaanku sendiri, saya, Saudara-saudara, telah lebih daripada tiga puluh lima tahun, hampir empat tahun dedicate myself to this service of freedom. Yang saya menghendaki supaya seluruh, seluruh, seluruh rakyat Indonesia masing-masing juga dedicate jiwa raganya kepada service of freedom ini, oleh karena memang service of freedom ini is a deathless service. Tetapi akhirnya segala sesuatu adalah di tangannya
Tuhan. Apakah Tuhan memberi saya dedicate myself, my all to this service of freedom, itu adalah Tuhan punya urusan.
Karena itu maka saya terus, terus, terus selalu memohon kepada Allah S.W.T., agar saya diberi kesempatan untuk ikut menjalankan aku punya service of freedom ini. Tuhan yang menentukan. De mens wikt, God beslist; manusia bisa berkehendak ,macam-macam Tuhan yang menentukan. Demikianpun saya selalu bersandarkan kepada keputusan Tuhan itu. Cuma saya juga di hadapan Tuhan berkata: Ya Allah, ya Rabbi, berilah saya kesempatan, kekuatan, taufik, hidayat untuk dedicate my self to this great cause of freedom and to this great service.
Inilah Saudara-saudara yang saya hendak katakan kepadamu;dalam saya pada hari sekarang ini memberi laporan kepadamu. Moga-moga Tuhan selalu memimpin saya, moga-moga Tuhan selalu memimpin Saudara-saudara sekalian. Sekianlah.


 
4.1     Kesimpulan

Pada era “Demokrasi Terpimpin”, kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.

Pada 30 September 1965, enam jendral senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan  G30S/PKI tersebut.

Pada tanggal 12 Desember 1964 sebuah dokumen ditunjukkan oleh Chairul Saleh kepada Ir Sukarno dalam pertemuan bersama pemimpin semua Parpol di Istana Bogor. Dokumen itu bertanggalkan akhir Desember 1963 memuat garis-garis besar strategi PKI, antara lain: 1. Menggulingkan pemimpin yang borjuis, 2. Mengucilkan kelompok “Nasutionis” dan “orang-orang berkepala batu”, 3. Menolak pernyataan presiden Sukarno mengenai tidak adanya kelas-kelas dalam masyarakat Indonesia, 4. Menilai Nasakom sebagai “impian seorang idealis” yang pada hakekatnya bersifat “revisionisme”, dan 5. Militer harus diindoktrinasi dan meningkatkan pembentukan sel-sel di dalam tubuh militer. Namun dokumen itu ditolak oleh DN Aidit, sehingga terjadi perdebatan yang seru hingga kemudian bisa diselesaikan secara musyawarah oleh Ir Soekarno.

Pidato Nawaksara adalah dokumen sejarah yang menarik. Pidato yang diucapkan Sukarno di depan Sidang Umum MPRS ke-IV ini menandai titik balik era Demokrasi Terpimpin. Era Demokrasi Terpimpin dimulai ketika terbitnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Demokrasi ala Sukarno yang memunculkan kesimpulan kepala pemerintahan memiliki kekuasaan tak berhingga. Dan komando politik Indonesia berada di telunjuk Sukarno. Era ini mencuatkan kekuatan baru dalam kancah politik yakni Partai Komunis Indonesia (PKI). Kekuatan politik seperti Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Masyumi sudah diberangus terlebih dahulu. Di sisi lain, TNI-AD hadir sebagai pengimbang PKI. Pidato ini ialah pertanggung jawaban Sukarno selaku Presiden Republik Indonesia. Pidato ini disampaikan untuk menjawab permintaan MPRS yang meminta penjelasan tentang peristiwa 30 September, dan kemerosotan ekonomi. Menjawab permintaan majelis rakyat, Soekarno mengurai tiga keterangan pokok yang berkaitan dengan peristiwa G-30 S:
(a) keblingeran pimpinan PKI,
(b) subversi neo-kolonialisme dan imperialisme (nekolim), dan
(c) adanya oknum-oknum yang “tidak benar”. Sukarno menuding kekuatan











DAFTAR PUSTAKA



NN.Latar Belakang Peristiwa G30S/PKI.
NN.Nawaksara.
NN. Peristiwa G30S/PKI.

NN. Latar Belakang Peristiwa G30S/PKI. http://www.duniapendidikan.net/2015/10/latar-belakang-peristiwa-g-30-s-pki-secara-singkat.html. Diunduh pada 17 September 2016.

http://okky3.blogspot.co.id/. Diunduh pada 17 September 2016.


No comments:

Post a Comment

Sambutan Rakyat Indonesia terhadap Jepang

Kedatangan Jepang di Indonesia pada awalnya disambut dengan senang hati oleh rakyat Indonesia. Jepang dielu-elukan sebagai “Saudara Tua” y...