rekomendasi

Monday 29 May 2017

”Kebijakan Pertanian Pada Masa Orde Lama”



BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
            Pertanian adalah kegiataan pemanfaatan sumber daya hayati yang dilakukan manusia untuk menghasikan bahan pangan, bahan baku indusri, atau sumber energi, serta untuk mengeola lingkungan hidupnya.  Tidak perlu diragukan lagi bahwa indonesia adalah negara dengan potensi agraris yang sempurna, memberikan ruang seluas-luasnya untuk memanfaatkan potensi pertanian tersebut. Ketergantungan kita pada pertanian sangat tinggi sebab hampir seluruh kegiatan perekonomian kita berpusat di sektor terbesar itu. Pengentasan kemiskinan dan juga pencapaian ketahanan pangan merupakan sasaran tujuan pembangunan maka tak pelak lagi bila pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu cara pencapaian tujuan tersebut.

Pembangunan sektor pertanian bukan suatu hal mudah. Keberhasilan pencapaian sasaran peningkatan pembangunan sektor pertanian tidak dapat di raih dengan kemauan di satu pihak saja, perlu kiranya ada kerja sama dari berbagai kalangan yang berkecimpung langsung di bidang pertanian. Maka dalam makalah ini dijelaskan kehidupan pertanian dan kebijakan-kebijakan seputar pertanian di masa orde lama. Dimana di dalamnya terdapat beberapa kebijakan yaitu kasimo plan dan Undang-undang pokok agraria.
I.2 Rumusan Masalah
a)      Bagaimanakah kehidupan pertanian pada masa orde lama?
b)      Apa saja kebijakan pertanian yang ada pada masa orde lama?
c)      Bagaimana latar belakang adanya kasimo plan?
d)     Apa isi dari kasimo plan?
e)      Apa yang dimaksud dengan undang-undang pokok agraria?
f)       Apa yang dimaksud itu UU No. 22/1948 Tentang Otonomi Desa dan UU No. 19 Tahun 1965 Tentang Desapraja
I.3 Tujuan
a)      Untuk mengetahui bagaimana kehidupan pertanian dimasa orde lama.
b)      Agar dapat mengetahui apa saja kebijakan pertanian dimasa orde lama.
c)      Mengetahui bagaimana latar belakang adanya kasimo plan.
d)     Agar mengetahui apa isi dari kasimo plan.
e)      Mengetahui apa yang dimaksud dengan undang-undang pokok agraria.
f)       Agar mengetahui apa yang dimaksud itu UU No. 22/1948 Tentang Otonomi Desa dan UU No. 19 Tahun 1965 Tentang Desapraja





           


BAB II
PEMBAHASAN

A.Pertanian pada masa orde lama
Di era orde lama, yakni ketika pemerintahan yang sah baru saja dibentuk dan bangsa Indonesia masih mengalami problem belajar berdemokrasi, Pertanian di masa itu praktis mengalami masa sulit seiring dengan ketidakstabilan situasi politik yang masih euforia pasca 350 tahun masa kolonialis dengan sistem tanam paksa dan 3,5 tahun kerja rodi. Di era serba terjepit, para pemimpin negeri ini berkali-kali mencoba mengembangkan formula untuk menyelamatkan pertanian. Departemen yang mengurusi bidang perikanan laut itu pun sudah ada sejak kabinet pertama dibentuk. Melalui Kementrian Kemakmuran Rakyat yang dipimpin oleh Menteri Mr. Sjafruddin Prawiranegara dibentuklah Jawatan Perikanan yang mengurusi kegiatan-kegiatan perikanan darat dan laut. Program swasembada beras sesungguhnya pula sudah dicanangkan di era Soekarno, tepatnya selama periode 1952-1956. Program swasembada beras dilaksanakan melalui Program Kesejahteraan Kasimo dengan didirikannya Yayasan Bahan Makanan (BAMA) dan berganti Yayasan Urusan Bahan Makanan (YUBM) pada 1953-1956.
Mengenai diversifikasi tanaman pangan itu pun sudah dipikirkan di era Soekarno. Program swasembada beras paska 1956 tetap dilanjutkan melalui program sentra padi yang diatur oleh Yayasan Badan Pembelian Padi (YBPP). Pada 1963, Soekarno memasukkan jagung sebagai bahan pangan pengganti selain beras, dan pada 1964 menerapkan Panca Usaha Tani. Hal ini menyesuaikan dengan kultur bercocok tanam dari petani yang biasanya memvariasikan antara tanaman padi dan jagung. Institusi pendukung di bidang pertanian maupun sub-sub sektor pertanian lebih banyak ditopang oleh kelembagaan inti yang dulunya pernah digunakan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Bedanya, orientasi pemerintahan republik bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, lalu orientasi untuk ekspor.
Tidak seperti sekarang yang sudah memiliki sumber daya manusia dan infrastruktur yang lebih baik, pembangunan di sektor pertanian di era Soekarno menemui jauh lebih banyak kesulitan dan tantangannya di dalam negeri. Tingkat ketergantungan terhadap jenis tanaman beras masih tergolong tinggi. Sekalipun demikian, Indonesia di masa itu belum pernah tercatat mengalami krisis pangan yang menyebabkan kasus kelaparan seperti yang pernah dialami oleh India dan China. Dalam beberapa periode, harga kebutuhan pokok sempat mengalami lonjakan harga yang cukup tinggi. Tetapi lonjakan harga tersebut tidak banyak berimbas di wilayah pedesaan yang relatif masih menerapkan pola diversifikasi bahan makanan. Pola kebijakan pertanian di masa Soekarno memang lebih menitikberatkan pada jenis tanaman lokal sebagai komoditi utama. Misalnya seperti jenis sagu di Maluku dan Papua atau nasi jagung di Sulawesi.
Untuk pertama kalinya, pemerintahan republik membentuk badan penyangga pangan yang disebut Badan Urusan Logistik atau Bulog pada tanggal 14 Mei 1967. Tugas pokok dari Bulog adalah berfungsi sebagai agen pembeli beras tunggal. Berdirinya Bulog sejak awal diproyeksikan untuk menjaga ketahanan pangan Indonesia melalui dua mekanisme yakni stabilisasi harga beras dan pengadaan bulanan untuk PNS dan militer. Pada prinsipnya, Bulog nantinya akan menjadi lumbung nasional yang tugas utamanya untuk menjaga pasokan (supply) komoditi pangan dan menjaga stabilitas harga tanaman pangan utama.

B. Kebijakan-Kebijakan Pertanian Pada Masa Orde Lama
            Masa Pemerintahan Indonesia Orde lama berjalan sekitar 23 tahun yaitu dari tahun 1945-1968 dibawah kepemimpinan sang proklamator Presiden Sukarno. Penyebutan "Orde Lama" merupakan istilah yang diciptakan dibawah rezim Suharto yaitu masa Orde Baru. Di era orde lama, yakni ketika pemerintahan yang sah baru saja dibentuk dan bangsa Indonesia masih mengalami problem belajar berdemokrasi, Pertanian di masa itu praktis mengalami masa sulit seiring dengan ketidakstabilan situasi politik yang masih euforia pasca 350 tahun masa kolonialis dengan sistem tanam paksa dan 3,5 tahun kerja rodi.
Di era serba terjepit, para pemimpin negeri ini berkali-kali mencoba mengembangkan formula untuk menyelamatkan pertanian. Program yang dibuat antara lain:
1. Rencana Kasimo (Kasimo Plan)
Pada masa perjuangan itu terasa sekali rakyat kekurangan pangan, terutama juga karena sebagian wilayah republik memang terdiri dari daerah minus, keadaan ini kemudian menjadi semakin sulit lagi dengan mengalirnya ratusan ribu pengungsi dari daerah-daerah yang diserbu oleh pasukan belanda, kasimo sebagai Manteri Muda kesemakmuran mau tidak mau harus memikirkan masalah sandang dan pangan ini.
Maka ketika itu lahirlah kasimo plan, rencana kasimo ini adalah semacam rencana produksi tiga tahun (1948-1950) yang sederhana, yang terutama dimaksudkan untuk menaggulangi keadaan darurat pada waktu itu. Ketika itu memnag hubungan dengan dunia luar terputus sama sekali, dan masalah pokok yang dihadapi adalah masalah pangan, maka yang menjadi pokok yang dihadapi adalah masalah pangan, maka dari itu yang menjadi pokok perhatian dan rencana ini adalah bagaimana dapat melakukan swasembada dibidang pangan. Jadi, jauh sebelum orang lain berbicara soal swasembada pangan, kasimo sebenarnya sudah melaksanakan pada zaman republik.
Pelaksanaan usaha swasembada pangan ini dilakukan melalui usaha intensifikasi dengan menggunakan bibit unggul, atau melalui usaha ekstensifikasi didaerah-daerah yang masih banyak tanah kosongnya. Maka dari itu isi dari rencana kasimo plan adalah sebagai berikut:
·         Menanami tanah kosong (tidak terurus) di Sumatera Timur seluas 281.277 HA
·         Melakukan intensifikasi di Jawa dengan menanam bibit unggul
·          Pencegahan penyembelihan hewan-hewan yang berperan penting bagi produksi pangan.
·         Di setiap desa dibentuk kebun-kebun bibit (I.J Kasimo menyarankan penanaman jagung dan ketela guna menanggulangi masalah kekurangan pangan yang sangat mendesak pada waktu itu).
·         Transmigrasi bagi 20 juta penduduk Pulau Jawa dipindahkan ke Sumatera dalam jangka waktu 10-15 tahun
Soal produksi sandang juga mendapat perhatian, akan tetapi karena pada waktu itu keadaannya sulit , maka untuk tahap permulaan hanya ditentukan agar 10% dari kebutuhan sandang dapat dipenuhi sendiri. Misalnya dengan menanam kapas, menenun dan membatik. Begitu pula jika ada daerah terbatas yang ingin membangun industri, maka dari itu harus di utamakan dahulu industri sandang, industri alat-alat pertanian juga mendapat prioritas.
Rencana produksi “kasimo plan”  ini hanya ditentukan untuk jangka waktu tiga tahun karena keadaan pada waktu itu tidak menentu. Dalam satu tulisan yang berjudul “Makanan dan Pakaian” di Mimbar Indonesia, nomor kemerdekaan, 17 agustus 1948, Kasimo menulis:
Arti soal makanan dan pakaian ditanah indonesia terasa betul-betul sejak waktu pendudukan jepang. Pentingnya soal makanan agaknya bagi siapapun sudah terang. Cukupnya makanan adalah satu kepentingan besar bagi tiap-tiap negara. Sebaliknya kurangnya makanan dapat membawa bencana hebat. Misalnnya banyak kematian masyarakat atau kekalahan dalam perang bagi negara yang bersangkutan sebagaimana mudah dapat dibuktikan dari sejarah. Bagi indonesia, soal makanan itu terutama dijawa/madura padatnya penduduk dipulau-pulau tersebut dan sempitnya tanah guna pertanian yang menghasilkan bahan makanan. Dari seluruh tanah jawa/madura (yakni 13.217.400 hektar) sekarang dipergunakan untuk tanah pertanian rakyat adalah bulatnya 63%,  sebagai tanah pertanian onderneming (perkebunan) 7%, hutan rimba 23%, sedangkan kelebihannya yaitu lebih kurang 8% berupa tanah untuk kota-kota, jalan lalu lintas, tempat-tempat pengembalaan hewan, kuburan-kuburan, jalan sungai-sungai, telaga-telaga serta puncak gungung-gunung. Menurut data statistik antara tahun 1921-1940, ada kenaikan produksi bahan makanan , naiknya hasil rata-rata setiap 1 hektar itu dalam waktu tertentu dapat dicapai dengan rupa-rupa usaha, misalnya pengairan(irigasi), penelitian dan penenrangan yang berakibat pemakaian jenis-jenis yang bagus (hoogwaerdige varietenten), perbaikan dalam cara mengerjakan tanah dan memelihara tanaman, kemajuan tentang pemakian pupuk dan sebagainya.


2. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang Pokok Agararia) merupakan Undang-Undang yang pertama kalinya memperkenalkan konsep Hak Menguasai Negara3. Perumusan pasal 33 dalam UUD 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Inilah dasar konstitusional pembentukan dan perumusan Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang Pokok Agararia). Dua hal pokok dari pasal ini adalah sejak awal telah diterima bahwa Negara ikut campur untuk mengatur sumber daya alam sebagai alat produksi, dan pengaturan tersebut adalah dalam rangka untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penghubungan keduanya bersifat saling berkait sehingga penerapan yang satu tidak mengabaikan yang lain.
Dengan mulai berlakunya UUPA terjadi perubahan fundamental pada Hukum Agraria di Indonesia, terutama hukum dibidang pertanahan (Hukum Agraria). Perubahan tersebut bersifat mendasar atau fundamental karena berubahnya struktur perangkat hukum, konsepsi yang mendasari dan isinya dinyatakan UUPA harus sesuai dengan  kepentingan rakyat Indonesia serta memenuhi pula keperluannya menurut permintaan zaman
Sebelum  UUPA berlaku bersamaan berbagai perangkat hukum agraria. Ada yg bersumber pada Hukum adat (konsepsi komunalistik religius), Hukum Perdata barat (konsepsi individualistik-liberal), dan Bekas pemerintahan Swapraja (konsepsi Feodal). Hukum agraria tersebut  diatas hampir seluruhnya terdiri atas peraturan perundang-undangan yg memberikan landasan hukum bagi pemerintah jajahan dalam melaksanakan politik agrarianya, Agrarische Wet 1870
Dalam hukum agraria UUPA dimuat tujuan, konsepsi, asas-asas, lembaga-lembaga hukum dan garis-garis besar ketentuan pokok Hukum Agraria Nasional. Tujuan UUPA adalah akan mewujudkan apa yang digariskan dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, bahwa bumi,air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, yang penguasaannya ditugaskan kepada negara Republik Indonesia, harus dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. UUPA menciptakan Hukum Agraria Nasional berstruktur tunggal, berdasarkan atas Hukum Adat tentang tanah, sebagai hukum aslinya sebagian terbesar rakyat Indonesia.
Dalam Penjelasan Umumnya, dinyatakan tujuan diberlakukannya UUPA adalah:
·         Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
·         Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
·         Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Hal penting lainnya adalah bahwa Undang-Undang Pokok Agararia sebenarnya tidak lepas dari konteks landreform yang menjadi agenda pokok pembentukan struktur agraria saat itu. Paket peraturan perundang-undangan landreform ini telah dimulai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil yang dikeluarkan untuk mengawasi adat tentang praktek bagi hasil. Ini bertujuan menegakkan keadilan dalam hubungan pemilik tanah yang tidak dapat mengerjakan tanahnya sendiri, dengan penggarap. Perlindungan ini terutama ditujukan kepada penggarap yang umumnya secara ekonomis lebih lemah sekaligus memacunya untuk menambah produksi. Demikian juga Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang redistribusi tanah pertanian.
Sayangnya pemerintahan Orde Lama tidak berlangsung lama, kebijakan distribusi tanah secara adil menurut UU Pokok Agraria atau lebih dikenal dengan landreform kandas di jaman Orde Baru. Maka, Agrarische Wet yang menjadi dasar bagi Hak Guna Usaha (HGU) para pemodal dan partikelir untuk memeras tanah dan petani kecil terus berlangsung.

3. UU No. 22/1948 Tentang Otonomi Desa
Untuk mengatur pemerintahan pasca 17 Agustus 1945, Badan pekerja Komite Nasional Pusat mengeluarkan pengumuman No. 2. yang kemudian ditetapkan menjadi UU No. 1/1945. UU ini mengatur kedudukan Desa dan kekuasaan komite nasional daerah, sebagai badan legislatif yang dipimpin oleh seorang Kepala Daerah. Menurut Prof. Koentjoro Perbopranoto, undang-undang ini dapat dianggap sebagai peraturan desentralisasi yang pertama di Republik Indonesia. Di dalamnya terlihat bahwa letak otonomi terbawah bukanlah kecamatan melainkan Desa, sebagai kesatuan masyarakat yang berhak mengatur rumah tangga pemerintahannya sendiri. Desentralisasi itu hanya sempat dilakukan sampai pada daerah tingkat II.
Memperhatikan isinya yang terlalu sederhana, Undang-undang No. 1/1945  ini dianggap kurang memuaskan. Maka dirasa perlu membuat undang-undang baru yang lebh sesuai dengan pasal 18 UUD 1945. Pada saat itu pemerintah menunjuk R.P. Suroso sebagai ketua panitia. Setelah melalui berbagai perundingan, RUU ini akirnya disetujui BP KNIP, yang  pada tanggal 10 Juli 1948 lahir UU No. 22/1948 Tentang Pemerintahan Daerah. Bab 2 pasal 3 angka 1 UU No. 22/1948 menegaskan bahwa daerah yang dapat mengatur rumah tangganya sendiri dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu daerah otonomi biasa dan daerah otonomi istimewa. Daerah-daerah ini dibagi atas tiga tingkatan, yaitu Propinsi Kabupaten/kota besar, Desa/kota kecil. Sebuah skema tentang pembagian daerah-daerah dalam 3 tingkatan itu menjadi lampiran undang-undang. Daerah istimewa adalah daerah yang mempunyai hak asal-usul yang di zaman sebelum RI mempunyai pemerintahan yang bersifat istimewa. UU No. 22/1948 menegaskan pula bahwa bentuk dan susunan serta wewenang dan tugas pemerintah Desa sebagai suatu daerah otonom yang berhak mengatur dan mengurus pemerintahannya sendiri.
4.UU No. 19 Tahun 1965 Tentang Desapraja
Pada tanggal 1 September 1965, DPRGR menetapkannya masing-masing menjadi UU No. 18/1965 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan UU No. 19 Tahun 1965 Tentang Desapraja.
Berdasarkan pasal 1 UU No. 19/1965, yang dimaksud dengan desapraja adalah kesatuan masyarakat hukum yang  tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya, dan mempunyai harta bendanya sendiri. Dalam penjelasan dinyatakan bahwa kesatuan-kesatuan yang tercakup dalam penjelasan UUD 1945 pasal 18, Volksgemeenschappen seperti Desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya, yang bukan bekas swapraja adalah desapraja menurut undang-undang ini. Dengan demikian, persekutuan-persekutuan masyarakat hukum yang berada dalam (bekas) daerah swapraja tidak berhak atas status sebagai desapraja.
Istilah yang digunakan adalah dengan memggunakan nama desapraja, UU No.19 /1965 memberikan istilah baru dengan satu nama seragam untuk menyebut keseluruhan kesatuan masyarakat hukum yang termasuk dalam penjelasan UUD 1945 pasal 18, padahal kesatuan masyarakat hukum di berbagai wilayah Indonesia mempunyai nama asli yang beragam. UU No.19/1965 juga memberikan dasar dan isi desapraja secara hukum yang berarti kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya dan berhak mengurus rumahtangganya sendiri, memilih penguasanya, dan memiliki harta benda sendiri.
Menyitir dalam penjelasan umum tentang desapraja itu terdapat keterangan yang menyatakan bahwa UU No. 19/1965 tidak membentuk baru desapraja, melainkan mengakui kesatuan-kesatuan masyarakat hukum yang telah ada di seluruh Indonesia dengan berbagai macam nama menjadi desapraja. Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum lain yang tidak bersifat teritorial dan belum mengenal otonomi seperti yang terdapat di berbagai wilayah daerah administratif tidak dijadikan desapraja, melainkan dapat langsung dijadikan sebagai unit administratif dari daerah tingkat III. Penjelasan juga menyatakan bahwa desapraja bukan merupakan satu tujuan tersendiri, melainkan hanya sebagai bentuk peralihan untuk mempercepat terwujudnya daerah tingkat III dalam rangka UU No.18/1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan daerah. Suatu saat bila tiba waktunya semua desapraja harus ditingkatkan menjadi Daerah Tingkat III dengan atau tanpa penggabungan lebih dahulu mengingat besar kecilnya desapraja yang bersangkutan.
Adapun alat-alat perlengkapan desapraja menurut UU No. 19/1965 adalah:
·                kepala Desa dipilih langsung oleh penduduk,
·                kepala desapraja adalah penyelenggara utama urusan rumah tangga desapraja dan sebagai alat pemerintah pusat,
·                kepala desapraja mengambil tindakan dan keputusan-keputusan penting setelah memperoleh persetujuan badan musyawarah desapraja,
·                kepala desapraja tidak diberhentikan karena suatu keputusan musyawarah,
·                kepala desapraja menjadi ketua badan musyawarah Desapraja.
Sedangkan anggota badan musyawarah desapraja dipilih menurut peraturan yang ditetapkan oleh peraturan daerah tingkat I. Kemudian dengan keluarnya UU No.19/1965 warisan kolonial yang sekian lama berlaku di negara RI, seperti IGO dan IGOB serta semua peraturan-peraturan pelaksanaannya tidak berlaku lagi. Tetapi, UU No.19/1965 tidak sempat pula dilaksanakan dibanyak daerah. Pelaksanaannya ditunda, tepatnya dibekukan, atas dasar pemberlakuan UU No.6 /1969, yaitu undang-undang dan peraturan pemerintah Pengganti Undang-undang 1965, meski dinyatakan juga bahwa pelaksanaanya efektif setelah adanya undang-undang baru yang menggantikannya. Namun, anehnya, UU No.19/1965 sendiri sebenarnya sudah terlebih dahulu ditangguhkan melalui intruksi Menteri Dalam Negeri No.29/1966. Karena itu, sejak UU No.18/1965 dan UU No.19/1965 berlaku, praktis apa yang dimaksudkan dengan daerah tingkat III dan Desapraja itu tidak terwujud. Secara informal pemerintahan Desa kembali diatur berdasarkan IGO dan IGOB.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, pemerintah Indonesia langsung berkonsentrasi untuk membangun sektor pertanian di segala bidang. Melalui Kementrian Kemakmuran Rakyat yang dipimpin oleh Menteri Mr. Sjafruddin Prawiranegara dibentuklah Jawatan Perikanan yang mengurusi kegiatan-kegiatan perikanan darat dan laut. Program swasembada beras sesungguhnya pula sudah dicanangkan di era Soekarno, tepatnya selama periode 1952-1956. Program swasembada beras dilaksanakan melalui Program Kesejahteraan Kasimo dengan didirikannya Yayasan Bahan Makanan (BAMA) dan berganti Yayasan Urusan Bahan Makanan (YUBM) pada 1953-1956.
Kebijakan pertanian pada masa orde lama ada dua yaitu kasimo plan dan Undang-undang pokok agraria.
 Pada masa perjuangan itu terasa sekali rakyat kekurangan pangan, terutama juga karena sebagian wilayah republik memang terdiri dari daerah minus, keadaan ini kemudian menjadi semakin sulit lagi dengan mengalirnya ratusan ribu pengungsi dari daerah-daerah yang diserbu oleh pasukan belanda, kasimo sebagai Manteri Muda kesemakmuran mau tidak mau harus memikirkan masalah sandang dan pangan ini. Maka ketika itu lahirlah kasimo plan, rencana kasimo ini adalah semacam rencana produksi tiga tahun (1948-1950) yang sederhana,
kasimo plan berisi hal-hal sebagai berikut. Menanami tanah kosong (tidak terurus) di Sumatera Timur seluas 281.277 HA,Melakukan intensifikasi di Jawa dengan menanam bibit unggul, Pencegahan penyembelihan hewan-hewan yang berperan penting bagi produksi pangan,Di setiap desa dibentuk kebun-kebun bibit (I.J Kasimo menyarankan penanaman jagung dan ketela guna menanggulangi masalah kekurangan pangan yang sangat mendesak pada waktu itu),Transmigrasi bagi 20 juta penduduk Pulau Jawa dipindahkan ke Sumatera dalam jangka waktu 10-15 tahun
Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang Pokok Agararia) merupakan Undang-Undang yang pertama kalinya memperkenalkan konsep Hak Menguasai Negara3. Perumusan pasal 33 dalam UUD 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
UU No. 22/1948 menegaskan bahwa bentuk dan susunan serta wewenang dan tugas pemerintah Desa sebagai suatu daerah otonom yang berhak mengatur dan mengurus pemerintahannya sendiri. Sedangkan UU No.19 /1965 memberikan istilah baru dengan satu nama seragam untuk menyebut keseluruhan kesatuan masyarakat hukum yang termasuk dalam penjelasan UUD 1945 pasal 18, padahal kesatuan masyarakat hukum di berbagai wilayah Indonesia mempunyai nama asli yang beragam. UU No.19/1965 juga memberikan dasar dan isi desapraja secara hukum yang berarti kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya dan berhak mengurus rumahtangganya sendiri, memilih penguasanya, dan memiliki harta benda sendiri.








Daftar Pustaka


https://books,google.co.id/politik-bermatabat-I.JKasimo .Diunduh pada hari sabtu,  21 Mei 2016 pukul 21.00


2014. Sejarah Hukum Pengaturan Pemerintah.
http://rajawaligarudapancasila.blogspot.co.id/2014/01/sejarah-hukum-pengaturan-pemerintahan.html.Diunduh pada hari Sabtu, 26 Maret 2016 pukul 20.00 WIB.

No comments:

Post a Comment

Sambutan Rakyat Indonesia terhadap Jepang

Kedatangan Jepang di Indonesia pada awalnya disambut dengan senang hati oleh rakyat Indonesia. Jepang dielu-elukan sebagai “Saudara Tua” y...