2.1.
KILAS BALIK PEMERINTAHAN DEANDLES
Salah satu pemerintahan terkenal pada masa
penjajahan Belanda adalah pemerintahan Daendels. Herman Willem Daendels yang
pada tahun 1808 diangkat menjadi gubernur jendral di wilayah Indonesia
mengemban tugas untuk mempertahankan wilayah Jawa dari serangan pasukan
Inggris. Berbagai upaya dilakukan oleh daendels untuk mempertahankan wilayah
jawa mulai dari memperkuat pertahanan hingga membangun infrastruktur yang
memadai.
Peninggalannya yang saat ini masih tetap kita
gunakan adalah pembangunan jalan yang menghubungkan antara pulau jawa bagian
barat hingga bagian timur. Adalah pembangunan jalan Anyer-Panarukan yang
membentang hingga sejauh lebih kurang 1000 km.
Masa pemerintahan Daendels merupakan salah satu masa
sulit yang harus dijalani bangsa Indonesia pada saat itu. Misinya dalam
memperkuat pertahanan dan ketentaraan telah mengkorbankan kesejahteraan
masyarakat Indonesia. Daendels menerapkan sistem kerja paksa atau yang dikenal
dengan kerja rodi dalam melakukan pembangunan jalan Anyer-Panarukan yang pada
saat inimenjadi saksi bisu bagaimana sakit dan rintihan pekerja pribumi yang
mati dalam pembuatan jalan tersebut.
Selain membangun infrastruktr jalan, daendels juga
membangun benteng-benteng untuk memperkuat pertahanan. Untuk itu Daendels
melatih orang-orang Indonesia dalam berperang dan membangun benteng-benteng,
pabrik mesiu hingga membangun rumah sakit. Hal ini dilakukan mengingat tidak
mungkin untuk menambah jumlah tentara dengan mendatangkan dari negeri belanda.
Setelah pembangunan jalan yang menghubungkan Anyer hingga PAnarukan selesai, daendels memerintahkan untuk membangun pelabuhan-pelabuhan dengan dilengkapi perahu-perahu kecil yang juga merupakan hasil keringat pribumi pada saat itu. Pembuatan pelabuhan ini menelan banyak sekali korban jiwa karena pada saat itu para pekerja banyak yang terserang penyakit malaria. Hingga pada akhirnya pembuatan pelabuhan itu terbengkalai. Namun Daendels bersikeras untuk menyelesaikan proyek pembangunan pelabuhan ini. Hal ini mengakibatkan kemarahan dari kerajaan Banten. Daendel menganggap jiwa rakyat Banten tidak ada artinya dan akirnya peperangan antara Kerajaan banten dan Belanda pun tidak terelakan.
Setelah pembangunan jalan yang menghubungkan Anyer hingga PAnarukan selesai, daendels memerintahkan untuk membangun pelabuhan-pelabuhan dengan dilengkapi perahu-perahu kecil yang juga merupakan hasil keringat pribumi pada saat itu. Pembuatan pelabuhan ini menelan banyak sekali korban jiwa karena pada saat itu para pekerja banyak yang terserang penyakit malaria. Hingga pada akhirnya pembuatan pelabuhan itu terbengkalai. Namun Daendels bersikeras untuk menyelesaikan proyek pembangunan pelabuhan ini. Hal ini mengakibatkan kemarahan dari kerajaan Banten. Daendel menganggap jiwa rakyat Banten tidak ada artinya dan akirnya peperangan antara Kerajaan banten dan Belanda pun tidak terelakan.
Peperangan antara kerajaan Banten dan Belanda pun
terjadi, pasukan Belanda menyerbu keraton dan berhasil mengasingan Sultan
Banten ke Ambon. Selain itu Mangkubumi, seorang perdana menteri Banten dibunuh
dan jasadnya dibuang kelaut karena dianggap merupakan tiang perlawanan terhadap
pemerintahan Belanda. Belanda pun kemudian mengangkat sultan baru untuk
memerintah kerajaan Banten yang wilayah kekuasaan yang telah diperkecil.
Selanjutnya untuk mengatasi reaksi raja-raja lain di
Jawa, Daendels membuat aturan baru tentang sopan santun antara Belanda dengan
raja-raja di Jawa Tengah. Sultan Nyayogyakarta bereaksi dengan menentang aturan
baru ini dan menyiapkan rencana perlawanan. Namun Belanda yang mencium rencana
Sultan Nyayogyakarta ini segera menyerbu keraton dan merampas semua isi
keraton. Selanjutnya Belanda memperkecil wilayah kekuasaan kerajaan
Nyayogyakarta dan memecat Sultan Hamengkubuwono I. Sejak saat itu Sultan
Hamengkubuwono I dikenal dengan gelar SUltan Sepuh.
Pemerintahan Daendels berakhir ketika pada tahun
1810 Kerajaan Belanda yang berada dibawah pemerintahan Raja Louis Napoleon
Bonaparte dihapuskan oleh Kaisar Napoleon Bonaparte. Negeri belanda kemudian
menjadi wilayah Perancis sehingga secara otomatis Indonesia yang merupakan wilayah
jajahan Belanda menjadi wilayah jajahan Perancis. Napoleon menganggap Daendels
sangat otokratis atau otoriter sehingga pada tahun 1811 ia dipanggil kembali ke
negeri Belanda dan kedudukannya digantkan oleh Gubernur Jendral Janses.
2.2. BIOGRAFI DEANDLES
Daendels dengan nama lengkap Herman Willem Daendels
lahir di Hattem, Gelderland, Belanda pada 21 Oktober 1762. Daendels meninggal
di Elmina, Belanda pada 2 Mei 1818 di umur 55 tahun. Daendels merupakan seorang
politikus Belanda sekaligus pernah menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia -
Belanda yang ke 36. Daendels memerintah Hindia Belanda pada periode 1808 - 1811
ketika Belanda di kuasai Perancis.
Pada tahun 1780 dan 1787, Daendels ikut melakukan
pemberontakan di Belanda dan kemudian melarikan diri ke Perancis. Di Perancis
Daendels menyaksikan perubahan Revolusi Peracis serta menggabungkan diri pada
pasukan Republik Batavia. Daendels mencapai level Jenderal dan pada tahun 1795
ia diangkat sebagai Letnan Jenderal. Ia tergabung dalam kaum unitaris dan
menjabat sebagai kepala kaum unitaris Belanda, maka dari itu ia secara langsung
ikut serta dalam penyusunan Undang - Undang Dasar Belanda yang pertama. Bahkan
Daendels juga mengintervensi militer Belanda selama dua kali. Namun ketika
terjadi invasi oleh Inggris dan Rusia di Noord-Holland, Daendels sebagai letnan
jenderal dianggap kurang tanggap dan diserang oleh berbagai pihak dan pada
akhirnya ia mengundurkan diri dari militer Belanda pada 1800 dan pindah ke
Heerde, Gelderland.
Daendels diangkat sebagai Gubernur Jenderal di
Indonesia pada periode 1809 hingga 1811. Pengangkatan tersebut dilakukan oleh
Louis Napoleon yang merupakan saudara dari Napoleon Bonaparte dan merupakan
raja Belanda pada saat itu. Tugas utama dari Daendels adalah mempertahankan pulau
Jawa dari serangan Inggris. Dalam usaha mempertahankan pulau Jawa, Daendels
menerapkan pembangunan jalan dari Anyer sampai ke Panarukan. Jalan ini dikenal
sebagai Grote Post-Weg (jalan raya pos) atau yang lebih dikenal dengan
jalan pantura. Daendels dikenal dengan pemerintahannya yang diktator dengan
tangan besi. Dari cerita berbagai sumber, pembangunan Grote Post Weg
menembus Gunung Pulosari, Jiput, Menes, Pandeglang, Lebak, hingga ke Jasinya
(Bogor). Pembangunan jalan ini menghabiskan waktu hanya satu tahun yaitu dari
tahun 1809 hingga 1810 dengan tujuam mempermudah tibanya surat - surat dari
Anyer menuju Panarukan.
Pada awal pembangunan rute Banten tahap awal,
pribumi masih mau membantu pembangunan proyek tersebut secara paksa. Namun,
setelah adanya kendala - kendala seperti penyakit malaria serta banyaknya
pribumi yang tewas dalam proyek tersebut, maka sebagian dari pribumi tersebut
berhenti dalam pembangunan tersebut. Dalam pembangunan jalan Batavia - Banten
menewaskan sekitar 15.000 orang dengan jasad - jasad yang tidak dikubur secara
layak. Namun Daendels tetap bersikeras untuk merampungkan proyek pembangunan pantura
tersebut. Bahkan sesekali Daendels juga memerintahkan prajuritnya untuk
menembaki siapa saja yang membangkang terhadap perintahnya. Sebenarnya banyak
yang menentang kebijakan tangan besi Daendels di dalam internal Belanda
sendiri, namun mereka yang menentang tidak bisa berbuat apa - apa. Daendels
mengancam akan memecat serta mengembalikan mereka ke Eropa. Pejabat - pejabat
tersebut diantaranya Peter Engelhard Minister dari Yogyakarta, F. Waterloo
Prefect dari Cirebon serta F. Rothenbuhler Gubernur Ujung Timur Jawa.
Dalam tulisan mereka, banyak hal yang membahas
tentang keburukan Daendels, diantaranya banyaknya korban jiwa akibat kerja rodi
dalam pembangunan jalan raya tersebut. Keresahan para pejabat Belanda akhirnya
sampai di telinga Louis Napoleon, atas pertimbangannya dan petinggi Belanda,
Daendels dicopot dari jabatannya pada 1811 dan digantikan Jenderal Jansens
sedangkan Daendels dibawa kembali ke Eropa. Di Eropa, Daendels bertugas di
tentara Perancis dan juga mengikuti perang melawan Rusia. Setelah Perancis
dikalahkan di Waterloo dan Belanda memerdekakan diri, Daendels menawarkan diri
kepada Raja Willem I namun raja Belanda tidak terlalu suka dengan mantan
patriot dan tokoh revolusioner ini. Pada 1815 Daendels ditawari menjadi
Gubernur Jenderal di Ghana dan meninggal pada 8 Mei 1818 akibat penyakit
malaria.
2.3. MASA PEMERINTAHAN REPUBLIK BATAAF
Pada tahun 1795 terjadi
perubahan di Belanda. Muncullah kelompok yang menamakan dirinya kaum patriot.
Kaum ini terpengaruh oleh semboyan Revolusi Perancis: liberte (kemerdekaan),
egalite (persamaan), dan fraternite (persaudaraan). Berdasarkan ide dan paham
yang digelorakan dalam Revolusi Perancis itu maka kaum patriot menghendaki
perlunya negara kesatuan.Bertepatan dengan keinginan itu pada awal tahun 1795 pasukan
Perancis menyerbu Belanda. Raja Willem V melarikan diri ke Inggris. Belanda
dikuasai Perancis. Dibentuklah pemerintahan baru sebagai bagian dari Perancis
yang dinamakan Republik Bataaf (1795-1806). Sebagai pemimpin Republik Bataaf
adalah Louis Napoleon saudara dari Napoleon Bonaparte.
Sementara itu dalam pengasingan,
Raja Willem V oleh pemerintah Inggrisditempatkan di Kota Kew. Raja Willem V
kemudian mengeluarkan perintahyang terkenal dengan “Surat-surat Kew”. Isi
perintah itu adalah agar parapenguasa di negeri jajahan Belanda menyerahkan
wilayahnya kepada Inggris bukan kepada Perancis. Dengan “Surat-surat Kew” itu
pihak Inggris bertindak cepat dengan mengambil alih beberapa daerah di Hindia
seperti Padang padatahun 1795, kemudian menguasai Ambon dan Banda tahun 1796.
Inggris juga memperkuat armadanya untuk melakukan blokade terhadap Batavia.
Sudah barang tentu pihak
Perancis dan Republik Bataaf juga tidak ingin ketinggalan untuk segera
mengambil alih seluruh daerah bekas kekuasaan VOC di Kepulauan Nusantara.
Karena Republik Bataaf ini merupakan vassal dari Perancis, maka
kebijakan-kebijakan Republik Bataaf untuk mengatur pemerintahan di Hindia masih
juga terpengaruh oleh Perancis. Kebijakan yang utama bagi Perancis waktu itu
adalah memerangi Inggris. Oleh karena itu, untuk mempertahankan Kepulauan
Nusantara dari serangan Inggris diperlukan pemimpin yang kuat. Ditunjuklah
seorang muda dari kaum patriot untuk memimpin Hindia, yakni Herman Williem
Daendels. Ia dikenal sebagai tokoh muda yang revolusioner.
2.4. PEMERINTAHAN HERMAN WILLIEM DAENDELS (1808-1811)
H.W. Daendels sebagai Gubernur
Jenderal memerintah di Nusantara pada tahun 1808-1811. Tugas utama Daendels
adalah mempertahankan Jawa agar tidak dikuasai Inggris. Sebagai pemimpin yang
ditunjuk oleh Pemerintahan Republik Bataaf, Daendels harus memperkuat
pertahanan dan juga memperbaiki administrasi pemerintahan, serta kehidupan
sosial ekonomi di Nusantara khususnya di tanah Jawa.
Daendels adalah kaum patriot dan
liberal dari Belanda yang sangat dipengaruhi oleh ajaran Revolusi Perancis. Di
dalam berbagai pidatonya, Daendels tidak lupa mengutip semboyan Revolusi
Perancis. Daendels ingin menanamkan jiwa kemerdekaan, persamaan dan
persaudaraan di lingkungan masyarakat Hindia. Oleh karena itu, ia ingin memberantas
praktik-praktik feodalisme. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat lebih dinamis
dan produktif untuk kepentingan negeri induk (Republik Bataaf). Langkah ini
juga untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan sekaligus membatasi hak-hak
para bupati yang terkait dengan penguasaan atas tanah dan penggunaan tenaga
rakyat.
Dalam rangka mengemban tugas
sebagai gubernur jenderal dan memenuhi pesan dari pemerintah induk, Daendels
melakukan beberapa langkah strategis, terutama menyangkut bidang
pertahanan-keamanan, administrasi pemerintahan, dan sosial ekonomi.
Dalam rangka mengemban tugas
sebagai gubernur jenderal dan memenuhi pesandari pemerintah induk, Daendels
melakukan beberapa langkah strategis, terutama menyangkut bidang
pertahanan-keamanan, administrasi pemerintahan, dan sosial ekonomi.
a. Bidang Pertahanan Keamanan
1. Meningkatkan jumlah prajurit
Peningkatan jumlah prajurit ini,
bertujuan untuk memperkuat angkatan perangnya. Jumlah yang tadinya 4000 orang
menjadi 18000 orang. Jumlah itu diperolehnya dari orang-orang pribumi.
Sedangkan untuk bintara dipergunakan orang Indo-Belanda dan untuk perwiranya
adalah dari bangsa Belanda sendiri. Untuk meningkatkan kedisplinan prajurit,
Daedels mengadakan tangsi-tangsi militer yang baik, pakaian seragam, dan
mengadakan rumah sakit militer. Dengan adanya bekal seperti ini, setidaknya
menjadikan rakyat pribumi bisa belajar berperang.
2. Membangun benteng-benteng
baru
Seperti yang sudah dijelaskan
diatas bahwa politik yang diterapkan Daendels lebih mengarah pada pertahanan dan
ketentaraan yang kemudian terlihat pada taktik pertahanan daratnya. Hal ini
dibuktikan melalui benteng-benteng yang dibangun lebih kepedalaman dengan
pusatnya ditempatkan di Dataran Tinggi Bandung. Ini menjadi pertimbangan
Daendels karena benteng-benteng lama seperti Sunda Kelapa sudah tidak kuat dan
tidak sesuai lagi.
3. Membangun kembali armada
pertahanan laut
Selain dari penambahan prajurit
dan membangun benteng-benteng baru, Daendels juga membangun kembali armada
pertahan laut. Hal ini dirasa perlu oleh Daendels, karena armada belanda sudah
hancur karena serangan Inggris di Teluk Jakarta maupun Surabaya. Akan tetapi
kebijakan Daendels yang satu ini tidak berjalan lancar. Karena sampai ia
ditarik kembali, kapal-kapal perang yang dipesannya dari Eropa tak kunjung
datang, karena terhalang oleh Inggris.
4. Dibangunnya
pelabuhan-pelabuhan
Pelabuhan yang bisa dibangun
oleh Daendels terdapat di Surabaya tepatnya di pulau Menari, dilengkapi dengan
benteng yang bernama Lodewijk. Pelabuhan yang juga digunakan sebagai pangkalan
armada ini, awalnya akan dibangun didaerah Ujung Kulon. Akan tetapi, karna
perlawanan dari Sultan Banten dan kondisi alam yang tidak memungkinkan,
sehingga jadilah pelabuhan tersebut di daerah surabaya yang sampai tahun 1942,
menjadi pangkalan armada Belanda.
5. Pembangunan Jalan Raya
Anyer-Panarukan
Pembuatan jalan raya pos dari
Anyer ke Panarukan, sebuah jalan yang membentang sekitar 1000 km atas dasar
pertimbangan pertahanan Jawa sebagai basis melawan serangan Inggris di Samudra
Hindia. Dalam hal ini Daendels tidak mendatangkan orang-orang dari Belanda,
akan tetapi memperkerjakan orang-orang pribumi (Indonesia) sendiri, yang
disebut dengan kerja rodi. Sebenarnya belum diketahui waktu yang pasti kapan
pembangunan jalan tersebut dimulai. Akan tetapi, bersamaan dengan dibuatnya
jalan Beliau juga mendirikan jasa pos dan telegraf yang kemudian menjadi nama
jalan Anyer-Panarukan, groote postweg (Jalan Raya Pos). Perlu diperhatikan
kemudian, didalam catatan pada tahun 1810 Deandles telah membeli 200 kuda-alat
pengangkut pos-yang menandakan jalan raya tersebut telah selesai.
b. Bidang Perekonomian
Walaupun sebenarnya perhatian Daendels tertuju pada
pertahanan dan ketentaraan, akan tetapi Daendels juga membuat kebijakan ekonomi
yang bertujuan untuk membiayai kebutuhan pertahanannya tersebut.
1) Mengeluarkan uang kertas
2) Meningkatkan usaha pemasukan
4) Menjual tanah keada swasta
5) Dibentuknya dewan pengawas keuangan Negara
1) Mengeluarkan uang kertas
2) Meningkatkan usaha pemasukan
4) Menjual tanah keada swasta
5) Dibentuknya dewan pengawas keuangan Negara
c. Bidang Peradilan
Untuk memperlancar jalannya
pemerintahan dan mengatur ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat, Daendels
juga melakukan perbaikan di bidang peradilan. Daendels berusaha memberantas
berbagai penyelewengan dengan mengeluarkan berbagai peraturan.
1. Daendels membentuk tiga jenis
peradilan: (1) peradilan untuk orangEropa, (2) peradilan untuk orang-orang
Timur Asing, dan (3) peradilan untuk orang-orang pribumi. Peradilan untuk kaum
pribumi dibentuk di setiap prefektur, misalnya di Batavia, Surabaya, dan
Semarang.
2. Peraturan untuk pemberantasan
korupsi tanpa pandang bulu. Pemberantasan korupsi diberlakukan terhadap siapa
saja termasuk orang-orang Eropa, dan Timur Asing.
d. Bidang Sosial-Ekonomi
Daendels juga diberi tugas untuk
memperbaiki keadaan di Tanah Hindia, sembari mengumpulkan dana untuk biaya
perang. Oleh karena itu, Daendels melakukan berbagai tindakan yang dapat
mendatangkan keuntungan bagi pemerintah kolonial. Beberapa kebijakan dan
tindakan Daendels itu misalnya:
1. Daendels memaksakan berbagai
perjanjian dengan penguasa Surakarta dan Yogyakarta yang intinya melakukan
penggabungan banyak daerah ke dalam wilayah pemerintahan kolonial, misalnya
daerah Cirebon,
2. Meningkatkan usaha pemasukan
uang dengan cara pemungutan pajak,
3. Meningkatkan penanaman
tanaman yang hasilnya laku di pasarandunia,
4. Rakyat diharuskan
melaksanakan penyerahan wajib hasil pertaniannya,
5. Melakukan penjualan
tanah-tanah kepada pihak swasta.
6. Mengeluarkan uang kertas.
Dampak Kebijakan Pemerintahan
Daendels di Indonesia (1808-1811)
1. Jawa (Tengah)
Seiring dengan adanya perjanjian
Gianti pada tahun 1755, yang mengakibatkan perpecahan Negara Mataram menjadi
Surakarta dan Yogyakarta, menjadikan Daendels membuat sebuah kebijakan dengan
merubah kekuasaan. Yaitu, melaui upacara penerimaan residen di Surakarta
danYogyakarta. Dalam kebijakan itu, residen dikerajaan-kerajaan tersebut harus
diberi penghormatan sebagai wakil suatu kekuasaan yang tertinggi dan
menempatkannya sejajar dengan raja-raja.
Hubungannya dengan perpecahan
daerah tersebut, di Surakarta kebijakan itu diterima. Sedangkan di Yogyakarta
tidak seperti itu. Hal ini terlihat dari sikap Hamengkubono II yang menentang
peraturan ini pada tahun 1810. Sehingga ia dipaksa turun dari tahtanya melalui
expedisi militer dan digantikan oleh putra mahkota Daendels, dengan gelar
Hamengkubono III.
Peristiwa ini membuat Daendels
bisa memaksa Yogyakarta dan Surakarta menerima perjanjian baru pada tahun 1811
yang menyebabkan Surakarta dan Yogyakarta kehilangan sebagian dari wilayahnya.
Pengaruh langsung dari pergantian kekuasaan tersebut, adalah persoalan otonomi
pengaturan keuangan dan pembentukan angktan perang. Terlihat pada pergantian
orang-orang jawa sebagai anggota intinya dengan orang-orang Madura, Makasar,
Bali, dan Budak-budak dari daerah lain. Sistem kepangkatan dalam organisasi dan
pengaturan ketentaraan yang bergaya Perancispun diterapkan pada masyarakat
pribumi.
2. Bandung
Pada awalnya, Pembangunan Jalan
Raya Pos ditujukan untuk kepentingan militer, akan tetapi lama kelamaan
pembangunan ini malah memperkuat posisi perekonomian kota-kota yang dilaluinya,
termasuk Bandung. Dampak positif dirasakan Bandung dari keberadaan jalan Raya
Pos tersebut. Diantaranya terlihat pada posisi Bandung yang semakin strategis
di mata pemerintah kolonial Belanda pasca diresmikannya Jalan Raya Pos. Posisi
tersebut semakin kuat menyusul dibukanya jalur kereta api Batavia–Bandung
melalui Bogor–Sukabumi-Cianjur dan jalur kereta api Batavia–Bandung melalui
Purwakarta yang dibuka kemudian.
Pembukaan jalur transportasi Bandung–Batavia ini semakin memudahkan hubungan kedua kota dan kondisi ini mendorong semakin cepatnya pergerakan roda perekonomian di Bandung. Sampai pertengahan abad ke-18, perjalanan dari Batavia ke pedalaman Priangan dilakukan dengan menggunakan rakit atau perahu melewati Sungai Citarum atau Cimanuk. Menurut catatan perjalanan yang ditemukan E.C.G. Molsbergen (1935), baru pada tahun 1786 jalan setapak yang dapat dilewati kuda mulai menghubungkan Batavia–Bogor–Cianjur–Bandung. Jalur tersebut memiliki arti penting bagi kepentingan perekonomian kompeni Belanda, sebab pada tahun 1789 Pieter Engelhard telah membuka perkebunan kopi di lereng selatan Gunung Tangkubanparahu. Hasil tanaman kopi tersebut memberi panen yang sangat memuaskan pada tahun 1807 (Kunto, 1984:11). Akibatnya dengan pesatnya pembangunan Bandung ini telah mendorong perubahan dalam pengelolaan wilayah.
Pembukaan jalur transportasi Bandung–Batavia ini semakin memudahkan hubungan kedua kota dan kondisi ini mendorong semakin cepatnya pergerakan roda perekonomian di Bandung. Sampai pertengahan abad ke-18, perjalanan dari Batavia ke pedalaman Priangan dilakukan dengan menggunakan rakit atau perahu melewati Sungai Citarum atau Cimanuk. Menurut catatan perjalanan yang ditemukan E.C.G. Molsbergen (1935), baru pada tahun 1786 jalan setapak yang dapat dilewati kuda mulai menghubungkan Batavia–Bogor–Cianjur–Bandung. Jalur tersebut memiliki arti penting bagi kepentingan perekonomian kompeni Belanda, sebab pada tahun 1789 Pieter Engelhard telah membuka perkebunan kopi di lereng selatan Gunung Tangkubanparahu. Hasil tanaman kopi tersebut memberi panen yang sangat memuaskan pada tahun 1807 (Kunto, 1984:11). Akibatnya dengan pesatnya pembangunan Bandung ini telah mendorong perubahan dalam pengelolaan wilayah.
3. Batavia
Pada masa pemerintahannya,
Daendels memindahkan ibukota pemerintahan dari Batavia ke Wallevreden. Lalu
memindahkan tempat tinggalnya dari Batavia ke Buitenzorg (Bogor). Tempat tinggalnya
itulah yang kini dikenal sebagai Istana Bogor.
Secara umum dampak pemerintahan dan kebijakan
Daendels di Indonesia yaitu:
Dampak Positif:
– Dikeluarkannya uang kertas.
– Dibangunnya jalan Raya Pos di Bandung sehingga memudahkan perekonomian di Bandung.
Dampak negatif:
– Masyarakat Indonesia semakin miskin karena diharuskan membayar pajak.
– Masyarakat Indonesia dipaksa melakukan kerja rodi yang hasilnya untuk para koloni.
– Masyarakat Indonesia menderita.
– Kekayaan alam di Indonesia dikuras.
– Mempekerjakan orang-orang Indonesia demi kepentingan koloni.
– Sebagian wilayah Indonesia dikuasai oleh koloni.
– Terjadinya penentangan dari Raja-Raja Indonesia kepada Daendels.
Dampak Positif:
– Dikeluarkannya uang kertas.
– Dibangunnya jalan Raya Pos di Bandung sehingga memudahkan perekonomian di Bandung.
Dampak negatif:
– Masyarakat Indonesia semakin miskin karena diharuskan membayar pajak.
– Masyarakat Indonesia dipaksa melakukan kerja rodi yang hasilnya untuk para koloni.
– Masyarakat Indonesia menderita.
– Kekayaan alam di Indonesia dikuras.
– Mempekerjakan orang-orang Indonesia demi kepentingan koloni.
– Sebagian wilayah Indonesia dikuasai oleh koloni.
– Terjadinya penentangan dari Raja-Raja Indonesia kepada Daendels.
2.5. PERGERAKAN RAJA JAWA ATAS SIKAP
DAENDELS
Dalam upaya melakukan reorganisasi pemerintahan di
Pantai Timur Laut Jawa, ia membubarkan pemerintahan Pantai Timur Laut Jawa dan
menurunkan pejabatnya yang waktu itu dijabat oleh Nicolaas Engelhard. Langkah
politik pertama Daendels khususnya terhadap raja-raja pribumi ditunjukkan
dengan tuntutannya bahwa semua raja pribumi di Jawa tunduk kepada Raja Belanda,
Louis Napoléon, yang berada di bawah perlindungan Kaisar Napoléon Bonaparte.
Oleh karena itu, raja-raja pribumi harus menyatakan untuk tunduk, setia dan
meminta perlindungan kepada raja Belanda dan Kaisar Prancis.
Bertolak dari kebijakan ini, Daendels mengubah
hubungan antara pemerintah kolonial dan raja-raja Jawa sama seperti dengan raja
Belanda, karena pemerintah Belanda di Batavia mewakili raja Belanda. Oleh
karena itu, hubungan itu harus ditinjau kembali dan disesuaikan dengan status
mereka. Langkah yang diambil oleh Daendels untuk mewujudkan maksud ini adalah
dengan mengeluarkan peraturan baru. Daendels mengeluarkan dua peraturan
penting, pertama adalah menghapuskan jabatan residen di masing-masing kerajaan
Jawa dan menggantikannya dengan pejabat baru, yaitu minister. Berbeda dengan
residen yang merupakan pegawai pemerintah kolonial, minister adalah utusan dari
Raja Belanda di Batavia yang mewakili kepentingan penguasa Belanda di
kraton-kraton Jawa. Dengan demikian minister memiliki kekuasaan penuh sebagai
pemegang mandat dan wakil dari Gubernur Jenderal di Batavia.
Yang kedua, berkaitan dengan perubahan pertama,
adalah dikeluarkannya peraturan baru oleh Daendels tentang tata upacara
penyambutan minister di setiap kraton Jawa. Karena statusnya sebagai wakil
penguasa Eropa, minister harus diperlakukan sejajar dengan raja Jawa dalam hal
status dan kedudukannya. Minister berhak memakai simbol-simbol kekuasaan serta
kebesaran seperti yang dipakai oleh raja-raja Jawa di dalam kraton. Minister
juga tidak perlu melakukan aturan menurut tradisi Jawa yang merendahkan
martabatnya seperti melepas topi, bersila dan duduk lebih rendah dari raja atau
mempersembahkan sirih dan tuak kepada raja Jawa. Daendels memerintahkan agar
segera menggantikan peraturan tata upacara lama dengan yang baru di kraton
Jawa.15
Di Kesunanan Surakarta, Sunan PB IV segera
menyanggupi untuk melaksanakannya. Sebaliknya di Kraton Yogya, peraturan baru
yang hakekatnya mirip dengan tuntutan van Overstraten tahun 1792 itu ditolak
oleh Sultan HB II. Pieter Engelhard, Minister pertama di Yogyakarta, tetap
diperlakukan seperti residen Belanda sebelumnya. Ketika Pieter Engelhard
menuntut agar peraturan itu dilaksanakan, Sultan HB II tidak bersedia
menemuinya. Engelhard melaporkan hal ini kepada Daendels pada kesempatan
kunjungan Daendels ke Semarang.
Setelah mendengar laporan Engelhard tentang sikap Sultan HB II, Daendels bermaksud untuk datang sendiri ke Yogya dengan maksud memaksa Sultan HB II untuk melaksanakannya. Ketika Sultan HB II mendengar berita bahwa Daendels bermaksud datang ke Yogyakarta dengan membawa sejumlah besar pasukan, Patih Danurejo II diperintahkan untuk menemuinya dan menyampaikan bahwa Sultan bersedia menerapkan aturan itu. Pertemuan Daendels dan Danurejo II berlangsung di Kemloko. Ketika mendengar laporan Danurejo II, Daendels membatalkan maksudnya untuk berkunjung ke Yogyakarta dan kembali ke Batavia melalui Surakarta.16
Setelah mendengar laporan Engelhard tentang sikap Sultan HB II, Daendels bermaksud untuk datang sendiri ke Yogya dengan maksud memaksa Sultan HB II untuk melaksanakannya. Ketika Sultan HB II mendengar berita bahwa Daendels bermaksud datang ke Yogyakarta dengan membawa sejumlah besar pasukan, Patih Danurejo II diperintahkan untuk menemuinya dan menyampaikan bahwa Sultan bersedia menerapkan aturan itu. Pertemuan Daendels dan Danurejo II berlangsung di Kemloko. Ketika mendengar laporan Danurejo II, Daendels membatalkan maksudnya untuk berkunjung ke Yogyakarta dan kembali ke Batavia melalui Surakarta.16
Persoalan kedua yang menimbulkan ketegangan antara
Daendels dan Sultan HB II adalah tuntutan Daendels untuk pengambilalihan hak
pengelolaan hutan dan penyerahan monopoli penebangan kayu milik raja-raja Jawa.
Daendels menghendaki agar monopoli penebangan kayu dikuasai oleh pemerintah
mengingat persediaan kayu di hutan-hutan pemerintah tidak lagi mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur pertahanan Jawa. Bagi Kesunanan
Surakarta yang tidak memiliki banyak hutan, tuntutan itu bukan merupakan masalah.
Sebaliknya, bagi Kesultanan Yogyakarta hal ini menjadi masalah besar, mengingat
kayu menjadi salah satu sumber pendapatan utama kraton Yogyakarta.
Wilayah hutan Yogyakarta terletak di Monconegoro
wetan, yaitu daerah Madiun sampai ke Mojokerto (dahulu bernama Japan). Wilayah
ini diperintah oleh menantu Sultan HB II yang sekaligus menjadi panglima
pasukan Kesultanan Yogyakarta, Raden Ronggo Prawirodirjo. Ketika Ronggo
mendengar tuntutan Daendels, ia mengusulkan kepada Sultan HB II agar menolak
tuntutan itu. Ronggo siap menjamin keselamatan Sultan dan Kesultanan apabila
Daendels marah terhadap penolakan tersebut. Ronggo yang dianggap sering
mengganggu penduduk di Delanggu (perbatasan Kraton Surakarta dan Yogyakarta)
dianggap sebagai pemberontak oleh Daendels. Oleh karena itu, ia mendesak sultan
untuk segera menyerahkan Ronggo kepada Daendels pada bulan November 1810.
Ronggo yang merasa memperoleh dukungan dari kraton Yogyakarta, khususnya dari kalangan kerabat kraton (Pangeran Notokusumo, Tumenggung Notodiningrat dan Tumenggung Sumodiningrat) menolak menyerahkan diri. Akibat tekanan yang terus menerus, akhirnya HB II bersedia memenuhi tuntutan Daendels untuk mengirim Ronggo, Notokusumo dan Notodiningrat ke Batavia. Di tengah perjalanan, Ronggo memisahkan diri dengan rombongan untuk kembali memberontak. Ronggo kembali ke Madiun dengan membakar desa-desa wilayah Kesunanan Surakarta.
Ronggo yang merasa memperoleh dukungan dari kraton Yogyakarta, khususnya dari kalangan kerabat kraton (Pangeran Notokusumo, Tumenggung Notodiningrat dan Tumenggung Sumodiningrat) menolak menyerahkan diri. Akibat tekanan yang terus menerus, akhirnya HB II bersedia memenuhi tuntutan Daendels untuk mengirim Ronggo, Notokusumo dan Notodiningrat ke Batavia. Di tengah perjalanan, Ronggo memisahkan diri dengan rombongan untuk kembali memberontak. Ronggo kembali ke Madiun dengan membakar desa-desa wilayah Kesunanan Surakarta.
Ketika pada akhir November 1810 Daendels mendengar
berita kembalinya Ronggo ke Madiun, ia memerintahkan agar pasukan gabungan
dibentuk di bawah Letnan Paulus dengan tujuan menangkap Ronggo hidup atau mati.
Melalui Pieter Engelhard (Minister Yogyakarta), Daendels mendesak Sultan HB II
agar ikut mengirim pasukan. Sultan HB II kemudian mengirim pasukan di bawah
pimpinan Tumenggung Purwodipuro. Pasukan dari Yogyakarta mulai berangkat ke
Madiun pada awal Desember 1810. Pasukan gabungan Belanda, Kesultanan, Kesunanan
dan Legiun Prangwedanan ini berhasil merebut pusat pertahanan Ronggo di
Maospati pada tanggal 5 Desember 1810. Ronggo yang terdesak mundur bersama sisa
pasukannya melarikan diri ke Kertosono. Setelah dilakukan pengepungan oleh
Letnan Paulus, akhirnya Ronggo berhasil ditembak mati pada tanggal 19 Desember
1810 dan jenazahnya dibawa ke Yogyakarta. 20 Atas perintah Daendels, jenazah
Ronggo dipamerkan di alun-alun Yogyakarta sebagai peringatan bagi setiap orang
yang menentang perintahnya.
Setelah Ronggo terbunuh, Daendels melihat bahwa pemerintah kolonial telah mengalami kerugian yang besar akibat dari pemberontakan yang dilakukan oleh ronggo, dan curiga keterlibatan Sultan HB II dalam peristiwa tersebut. Oleh karena itu, Daendels memutuskan untuk berangkat ke Yogyakarta dengan membawa 3.300 tentara. Pasukan sejumlah itu dibawa oleh Daendels untuk memaksa sultan agar bersedia melakukan perubahan di Kraton sekaligus menurunkan Sultan HB II dan mengangkat putranya menjadi sultan.
Setelah Ronggo terbunuh, Daendels melihat bahwa pemerintah kolonial telah mengalami kerugian yang besar akibat dari pemberontakan yang dilakukan oleh ronggo, dan curiga keterlibatan Sultan HB II dalam peristiwa tersebut. Oleh karena itu, Daendels memutuskan untuk berangkat ke Yogyakarta dengan membawa 3.300 tentara. Pasukan sejumlah itu dibawa oleh Daendels untuk memaksa sultan agar bersedia melakukan perubahan di Kraton sekaligus menurunkan Sultan HB II dan mengangkat putranya menjadi sultan.
Berita kekalahan Ronggo baru diterima oleh Sultan
tanggal 26 Desember 1810. Kematian Ronggo dilaporkan kepada Gubernur Jenderal
yang saat itu sudah sampai di Kemloko yang jaraknya beberapa kilometer dari
Yogyakarta. Dari Kemloko Daendels membalas surat HB II yang intinya sultan
tidak perlu merasa takut karena ia hanya membawa 3.200 tentara yang digunakan
untuk melindungi sultan dari musuh-musuhnya. Dalam surat itu juga dijelaskan
bahwa 15 hingga 16 ribu tentara telah disiapkan untuk menuju ke Yogyakarta.
Pada tanggal 28 Desember sultan membalas surat
Daendels yang intinya sultan bersedia menjalankan nasehat persahabatan
Daendels. Setelah sampai di Yogyakarta, Daendels mengadakan pembicaraan dengan
para pangeran kraton Yogyakarta yang intinya meminta dukungan untuk menurunkan
Sultan HB II dari tahtanya dan menggantikannya dengan putra mahkota RM Surojo.
Pada tanggal 31 Desember 1810 Sultan HB II turun tahta.
Ia tetap diizinkan tetap tinggal di kraton Yogyakarta. Putra mahkota diharuskan
untuk menandatangani beberapa perjanjian dan kontrak politik baru. Dalam
kontrak itu disebutkan bahwa penguasa penyambutan Minister, membayar biaya
pengiriman pasukan, menyerahkan hak monopoli kayu dan pertukaran beberapa
daerah Kesultanan dengan wilayah pemerintah. Selain itu, Daendels juga menuntut
agar Pangeran Notokusumo dan Tumenggung Notodiningrat diserahkan kepadanya.
Kedua orang ini kemudian dibawa oleh Daendels sebagai tawanan perang dan
dimaksudkan akan dihukum mati. Untuk sementara keduanya ditawan di Cirebon di
bawah pengawasan Residen Waterloo.
Perjanjian baru yang dibuat pada bulan Januari 1811
ini tidak sempat dilaksanakan, mengingat pada bulan Mei 1811 Daendels
digantikan oleh Jan Willem Janssens. Janssens memusatkan perhatian pada
pertahanan Jawa dari serangan Inggris. Meskipun dibantu oleh pasukan dari
raja-raja Jawa, pertahanan Janssens tidak mampu menghadapi serbuan Inggris yang
mendaratkan pasukannya pada tanggal 4 Agustus 1811. Setelah bertahan sekitar
satu setengah bulan, Janssens menyerah pada tanggal 18 September 1811 di
Tuntang. Sejak itu Jawa berada di bawah penguasaan kolonial Inggris dengan
Thomas Stamford Raffles sebagai letnan gubernur jenderal.
3.1. KESIMPULAN
Masa pemerintahan Daendels merupakan salah satu masa
sulit yang harus dijalani bangsa Indonesia pada saat itu. Misinya dalam
memperkuat pertahanan dan ketentaraan telah mengkorbankan kesejahteraan masyarakat
Indonesia. Daendels menerapkan sistem kerja paksa atau yang dikenal dengan
kerja rodi dalam melakukan pembangunan jalan Anyer-Panarukan yang pada saat
inimenjadi saksi bisu bagaimana sakit dan rintihan pekerja pribumi yang mati
dalam pembuatan jalan tersebut.
Daendels dengan nama lengkap Herman Willem Daendels
lahir di Hattem, Gelderland, Belanda pada 21 Oktober 1762. Daendels meninggal
di Elmina, Belanda pada 2 Mei 1818 di umur 55 tahun. Daendels merupakan seorang
politikus Belanda sekaligus pernah menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia -
Belanda yang ke 36. Daendels memerintah Hindia Belanda pada periode 1808 - 1811
ketika Belanda di kuasai Perancis.
Pada tahun 1795 terjadi perubahan di Belanda.
Muncullah kelompok yang menamakan dirinya kaum patriot. Kaum ini terpengaruh
oleh semboyan Revolusi Perancis: liberte (kemerdekaan), egalite (persamaan),
dan fraternite (persaudaraan). Berdasarkan ide dan paham yang digelorakan dalam
Revolusi Perancis itu maka kaum patriot menghendaki perlunya negara kesatuan.Bertepatan
dengan keinginan itu pada awal tahun 1795 pasukan Perancis menyerbu Belanda.
Raja Willem V melarikan diri ke Inggris. Belanda dikuasai Perancis. Dibentuklah
pemerintahan baru sebagai bagian dari Perancis yang dinamakan Republik Bataaf (1795-1806).
Sebagai pemimpin Republik Bataaf adalah Louis Napoleon saudara dari Napoleon
Bonaparte.
Daendels diangkat sebagai Gubernur Jenderal di
Indonesia pada periode 1809 hingga 1811. Pengangkatan tersebut dilakukan oleh
Louis Napoleon yang merupakan saudara dari Napoleon Bonaparte dan merupakan
raja Belanda pada saat itu. Tugas utama dari Daendels adalah mempertahankan
pulau Jawa dari serangan Inggris. Dalam usaha mempertahankan pulau Jawa,
Daendels menerapkan pembangunan jalan dari Anyer sampai ke Panarukan. Jalan ini
dikenal sebagai Grote Post-Weg (jalan raya pos) atau yang lebih dikenal
dengan jalan pantura. Daendels dikenal dengan pemerintahannya yang diktator
dengan tangan besi. Dari cerita berbagai sumber, pembangunan Grote Post Weg
menembus Gunung Pulosari, Jiput, Menes, Pandeglang, Lebak, hingga ke Jasinya
(Bogor). Pembangunan jalan ini menghabiskan waktu hanya satu tahun yaitu dari
tahun 1809 hingga 1810 dengan tujuam mempermudah tibanya surat - surat dari
Anyer menuju Panarukan.
Wilayah hutan Yogyakarta terletak di Monconegoro
wetan, yaitu daerah Madiun sampai ke Mojokerto (dahulu bernama Japan). Wilayah
ini diperintah oleh menantu Sultan HB II yang sekaligus menjadi panglima
pasukan Kesultanan Yogyakarta, Raden Ronggo Prawirodirjo. Ketika Ronggo
mendengar tuntutan Daendels, ia mengusulkan kepada Sultan HB II agar menolak
tuntutan itu. Ronggo siap menjamin keselamatan Sultan dan Kesultanan apabila
Daendels marah terhadap penolakan tersebut. Ronggo yang dianggap sering
mengganggu penduduk di Delanggu (perbatasan Kraton Surakarta dan Yogyakarta)
dianggap sebagai pemberontak oleh Daendels. Oleh karena itu, ia mendesak sultan
untuk segera menyerahkan Ronggo kepada Daendels pada bulan November 1810.
DAFTAR
PUSTAKA
Ananta T. Pramudya. 2005. Jalan Raya Pos Jalan Deandles. Lentera Di
Pantara; Jakarta
http://www.sejarawan.com/221-pemerintahan-daendels-di-indonesia-1808-1811-a.html,
di unduh pada (25 desember 2016)
No comments:
Post a Comment