3.1
Latar
Belakang Peristiwa G30SPKI
PKI merupakan partai
Stalinis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Sovyet.
Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan
pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta
anggota dan pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta
anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis dan
pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
Pada bulan Juli 1959
parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden
– sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan
bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang
penting. Sukarno menjalankan sistem “Demokrasi Terpimpin”. PKI menyambut
“Demokrasi Terpimpin” Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai
mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis
yang dinamakan NASAKOM.
Pada era “Demokrasi
Terpimpin”, kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis nasional dalam
menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal
memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor
menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat
dan militer menjadi wabah.
PKI telah menguasai
banyak dari organisasi massa yang dibentuk Soekarno untuk memperkuat dukungan
untuk rezim Demokrasi Terpimpin dan, dengan persetujuan dari Soekarno, memulai
kampanye untuk membentuk “Angkatan Kelima” dengan mempersenjatai pendukungnya.
Para petinggi militer menentang hal ini.
Dari tahun 1963, kepemimpinan
PKI makin lama makin berusaha menghindari bentrokan-bentrokan antara aktivis
massanya dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI mementingkan
“kepentingan bersama” polisi dan “rakyat”. Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami
slogan “Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi”. Di bulan Agustus 1964, Aidit
menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari “sikap-sikap sektarian”
kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri
untuk membuat “massa tentara” subyek karya-karya mereka.
Di akhir 1964 dan
permulaan 1965 ratusan ribu petani bergerak merampas tanah dari para tuan tanah
besar. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para
pemilik tanah. Untuk mencegah berkembangnya konfrontasi revolusioner itu, PKI mengimbau
semua pendukungnya untuk mencegah pertentangan menggunakan kekerasan terhadap
para pemilik tanah dan untuk meningkatkan kerjasama dengan unsur-unsur lain,
termasuk angkatan bersenjata.
Pada permulaan 1965,
para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik AS.
Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada
waktu yang sama, jendral-jendral militer tingkat tinggi juga menjadi anggota
kabinet.
Menteri-menteri PKI
tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet Sukarno
ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan
bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis “rakyat”.
Aidit memberikan
ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia berbicara
tentang “perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari
antara tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia,
termasuk para komunis”.
Rezim Sukarno mengambil
langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di industri.
Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka adalah milik
pemerintahan NASAKOM. Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas
persiapan-persiapan untuk pembentukan rejim militer, menyatakan keperluan untuk
pendirian “angkatan kelima” di dalam angkatan bersenjata, yang terdiri dari
pekerja dan petani yang bersenjata.
Bukannya memperjuangkan
mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang
berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan
massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka,
depan jendral-jendral militer, berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan
memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa
“NASAKOMisasi” angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerjasama
untuk menciptakan “angkatan kelima”. Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan
aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI
masih mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara sedang diubah untuk
memecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara.
3.2
Terjadinya
Peristiwa G30SPKI
Pada 30 September 1965, enam
jendral senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang
disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang loyal kepada PKI dan
pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi Angkatan
Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan
G30S/PKI tersebut.
Keenam
pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:
o
Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad
Yani,
o
Mayjen TNI R. Suprapto
o
Mayjen TNI M.T. Haryono
o
Mayjen TNI Siswondo Parman
o
Brigjen TNI DI Panjaitan
o
Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo
Jenderal TNI A.H. Nasution juga disebut
sebagai salah seorang target namun dia selamat dari upaya pembunuhan tersebut.
Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan AH Nasution, Lettu
Pierre Tandean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.
Selain itu beberapa orang lainnya juga
turut menjadi korban:
o
AIP Karel Satsuit Tubun
o
Brigjen Katamso Darmokusumo
o
Kolonel Sugiono
Para korban tersebut kemudian dibuang ke
suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat
mereka ditemukan pada 3 Oktober.
Kronologi Penumpasan
Tanggal 1 Oktober 1965
Operasi penumpasan G 30 S/PKI
dimulai sejak tanggal 1 Oktober 1965 sore hari. Gedung RRI pusat dan Kantor
Pusat Telekomunikasi dapat direbut kembali tanpa pertumpahan darah oleh satuan
RPKAD di bawah pimpinan Kolonel Sarwo Edhi Wibowo, pasukan Para Kujang/328
Siliwangi, dan dibantu pasukan kavaleri. Setelah diketahui bahwa basis G 30
S/PKI berada di sekitar Halim Perdana Kusuma, sasaran diarahkan ke sana.
Tanggal 2 Oktober 1965
Pada tanggal 2 Oktober,
Halim Perdana Kusuma diserang oleh satuan RPKAD di bawah komando Kolonel Sarwo
Edhi Wibowo atas perintah Mayjen Soeharto. Pada pikul 12.00 siang, seluruh
tempat itu telah berhasil dikuasai oleh TNI – AD.
Tanggal 3 Oktober 1965
Pada hari Minggu tanggal 3 Oktober
1965, pasukan RPKAD yang dipimpin oleh Mayor C.I Santoso berhasil menguasai
daerah Lubang Buaya. Setelah usaha pencarian perwira TNI – AD dipergiat dan
atas petunjuk Kopral Satu Polisi Sukirman yang menjadi tawanan G 30 S/PKI,
tetapi berhasil melarikan diri didapat keterangan bahwa para perwira TNI – AD
tersebut dibawah ke Lubang Buaya. Karena daerah terebut diselidiki secara
intensif, akhirnya pada tanggal 3 Oktober 1965 titemukan tempat para perwira
yang diculik dan dibunuh tersebut.. Mayat para perwira itu dimasukkan ke dalam
sebuah sumur yang bergaris tengah ¾ meter dengan kedalaman kira – kira 12
meter, yang kemudian dikenal dengan nama Sumur Lubang Buaya.
Tanggal 4 Oktober 1965
Pada tanggal 4 Oktober,
penggalian Sumur Lubang Buaya dilanjutkan kembali (karena ditunda pada tanggal
13 Oktober pukul 17.00 WIB hingga keesokan hari) yang diteruskan oleh pasukan
Para Amfibi KKO – AL dengan disaksikan pimpinan sementara TNI – AD Mayjen
Soeharto. Jenazah para perwira setelah dapat diangkat dari sumur tua tersebut
terlihat adanya kerusakan fisik yang sedemikian rupa. Hal inilah yang menjadi
saksi bisu bagi bangsa Indonesia betapa kejamnya siksaan yang mereka alami sebelum
wafat.
Tanggal 5 Oktober 1965
Pada tanggal 5 Oktober,
jenazah para perwira TNI – AD tersebut dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata yang sebelumnya disemayamkan di Markas Besar Angkatan Darat.
Tanggal 6 Oktober 1965
Pada tanggal 6 Oktober,
dengan surat keputusan pemerintah yang diambil dalam Sidang Kabinet Dwikora,
para perwira TNI – AD tersebut ditetapakan sebagai Pahlawan Revolusi.
Gerakan 30 September atau yang
sering disingkat G 30 S PKI adalah sebuah kejadian yang terjadi pada tanggal 30
September 1965 di mana enam pejabat tinggi militer Indonesia beserta beberapa
orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha pemberontakan yang disebut sebagai
usaha kudeta yang dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.
Pasca Kejadian
Pasca pembunuhan beberapa perwira TNI
Angkatan Darat, PKI mampu menguasai dua sarana komunikasi vital, yaitu studio
RRI di Jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan
Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September
yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang akan
mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Diumumkan pula terbentuknya “Dewan
Revolusi” yang diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.
Di Jawa Tengah dan DI.Yogyakarta, PKI
melakukan pembunuhan terhadap Kolonel Katamso (Komandan Korem 072/Yogyakarta)
dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala Staf Korem 072/Yogyakarta).Mereka diculik
PKI pada sore hari 1 Oktober 1965.Kedua perwira ini dibunuh karena secara tegas
menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi. Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno
dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh
para “pemberontak” dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di
Jakarta untuk mencari perlindungan. Pada tanggal 6 Oktober, Sukarno mengimbau
rakyat untuk menciptakan “persatuan nasional”, yaitu persatuan antara angkatan
bersenjata dan para korbannya untuk penghentian kekerasan. Biro Politik dari
Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi
massa untuk mendukung “pemimpin revolusi Indonesia” dan tidak melawan angkatan
bersenjata.
Penangkapan dan
Pembantaian
Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua
partai kelas buruh yang diketahui, ratusan ribu pekerja, dan petani Indonesia
dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan
diinterogasi.Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober),
Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember).Berapa jumlah orang yang
dibantai tidak diketahui dengan persis (perkiraan yang konservatif menyebutkan
500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juga
orang).Namun diduga setidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana
enam bulan yang mengikuti kudeta itu. Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok
pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan seperti barisan Ansor NU
dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di
Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas
di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu
sungai itu “terbendung mayat”. Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta
anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan
ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya
perlawanan sama sekali.
Supersemar (Surat Perintah
Sebelas Maret)
Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966,
Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah
Sebelas Maret.Ia memerintah Suharto untuk mengambil “langkah-langkah
yang sesuai” untuk mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan
pribadi dan wibawanya.Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh
Suharto untuk melarang PKI.
Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa
agar menuruti kewenangan rejim Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah melarikan
diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada tanggal 24 November, tetapi
pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI, Nyoto.
Pertemuan Jenewa, Swiss
Menyusul peralihan kekuasaan ke tangan Suharto,
diselenggarakanlah pertemuan antara para ekonom orde baru dengan para CEO
korporasi multinasional di Swiss. Korporasi multinasional diantaranya diwakili
perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical
Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express,
Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman
Brothers, Asian Development Bank, dan Chase Manhattan. Kebijakan ekonomi pro
liberal sejak saat itu diterapkan.
Peringatan
Sesudah kejadian tersebut, 30 September
diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September.Hari berikutnya,
1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pada masa pemerintahan
Soeharto, biasanya sebuah film mengenai kejadian tersebut juga ditayangkan di
seluruh stasiun televisi di Indonesia setiap tahun pada tanggal 30 September.
Selain itu pada masa Soeharto biasanya dilakukan upacara bendera di Monumen
Pancasila Sakti di Lubang Buaya dan dilanjutkan dengan tabur bunga di makam
para pahlawan revolusi di TMP Kalibata.Namunsejak era Reformasi bergulir,
film itu sudah tidak ditayangkan lagi dan hanya tradisi tabur bunga yang
dilanjutkan.
3.3
Tuduhan
atas Keterlibatan Soekarno dalam Peristiwa G30/SPKI
Sehari sebelum terjadi penculikan
para Jenderal yang dikatakan sebagai anggota Dewan Jenderal, terjadi
perbincangan singkat antara DN Aidit dengan Jenderal AH Nasutian di Istana
Negara Jakarta. DN Aidit bertanya kepada Jenderal AH Nasution, "Diantara
sederet penghargaan dan tanda jasa yang ada di Dada Jenderal, mana yang dari
penumpasan PKI Madiun". Kemudian Jenderal AH Nasution menunjukkan salah
satu dari tanda jasa yang ada di dadanya, kemudian DN Aidit meminta foto
bersama dengan Jenderal yang menjabat MENKOHANKAM/KSAB itu. sumber ilustrasi:
www.teguhtimur.com Aidit mendapat penghargaan sipil tertinggi Bintang
Mahaputera kelas III langsung dari Presiden Soekarno di Istana Negara pada 19
September 1965, saat itu dia menjabat sebagai Menteri Koordinator. Jenderal AH
Nasution lahir di Kotanopan, Sumatera Utara, pada 3 Desember 1918 dan DN Aidit
lahir di Tanjung Pandan Belitung, 30 Juli 1923. Dua pemimpin beda generasi dan
beda ideologi, mereka memiliki rekam jejak "permusuhan" sejak
meletusnya pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948. Dimana AH Nasution
selaku wakil panglima besar TNI memerintahkan untuk menumpas PKI atas perintah
dari Presiden Soekarno. Sedangkan DN Aidit adalah salah satu tahanan atas
keterlibatannya dalam pendirian Negara Soviet di Madiun oleh PKI. DN Aidit
berhasil lolos dari tahanan di Wirogunan Yogyakarta karena aksi agresi Belanda
I ke Yogyakarta kemudian melarikan diri ke Vietnam Utara. Tepatnya pada tanggal
18 September 1948 dengan dipimpin Muso di Madiun PKI mendirikan suatu
Pemerintahan Soviet dan mengobarkan pemberontakan melawan pemerintah pusat yang
dipimpin Ir Soekarno. Menanggapi hal tersebut Ir Soekarno berpidato pada
tanggal 19 September 1948 yang berisi seruan untuk memilih "apakah akan
mendukung Muso dengan PKI-nya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita Indonesia
Merdeka, atau ikut Sukarno-Hatta, yang insya Allah, dengan bantuan Tuhan, akan
memimpin negara RI merdeka, tidak dijajah oleh negara apa apun juga”. Setelah
kejadian itu mereka diketemukan kembali di Istana Negara, dimana DN Aidit
menjadi Ketua CC PKI dan AH Nasution sebagai MENKOHANKAM/KSAB dengan pangkat
Jenderal Bintang 4. Seolah tidak ada dendam masa lalu, namun ternyata yang
terjadi adalah dendam itu terbungkus rapi hingga diketahui setelah melutus
G30S/PKI. Pada tahun 1964 sudah ada sebuah dokumen milik AD yang menyebutkan
bahwa tujuan dari berdirinya PKI salah satunya adalah untuk merebut kekuasaan.
Pada tanggal 12 Desember 1964 sebuah dokumen
ditunjukkan oleh Chairul Saleh kepada Ir Sukarno dalam pertemuan bersama
pemimpin semua Parpol di Istana Bogor. Dokumen itu bertanggalkan akhir Desember
1963 memuat garis-garis besar strategi PKI, antara lain: 1. Menggulingkan
pemimpin yang borjuis, 2. Mengucilkan kelompok “Nasutionis” dan “orang-orang
berkepala batu”, 3. Menolak pernyataan presiden Sukarno mengenai tidak adanya
kelas-kelas dalam masyarakat Indonesia, 4. Menilai Nasakom sebagai “impian
seorang idealis” yang pada hakekatnya bersifat “revisionisme”, dan 5. Militer
harus diindoktrinasi dan meningkatkan pembentukan sel-sel di dalam tubuh
militer. Namun dokumen itu ditolak oleh DN Aidit, sehingga terjadi perdebatan
yang seru hingga kemudian bisa diselesaikan secara musyawarah oleh Ir Soekarno.
Muncul juga pernyataan dari pejabat Belanda di NATO yang menyatakan bahwa
Indonesia akan jatuh ke tangan Barat seperti apel busuk. Agen-agen intelijen
Barat merencanakan suatu premature communist coup, sehingga Angkatan Darat
Indonesia punya alasan untuk menumpas PKI, sekaligus menjadikan Sukarno sebagai
sandera”. Kali ini AD yang diisukan akan membuat pengambil alihan kekuasaan,
meskipun diantara para pimpinan AD sendiri memiliki "permusuhan".
Pertanyaannya adalah "bagian" dari AD yang mana yang akan
memberontak? Kemudian disusul dokumen lagi dari Kedubes Amerika tanggal 21
Januari 1965. Kedutaan Besar Amerika di Jakarta mengirim telegram kepada
Department of State di Washington, melaporkan tentang pertemuan antara seorang
pejabat Kedutaan dengan Mayjen S.Parman yang menyampaikan adanya perasaaan kuat
di dalam segment top military command untuk melakukan pengambilan kekuasaan
sebelum Sukarno meninggal dunia, didorong oleh kegiatan PKI untuk mewujudkan
Angkatan ke-V. Kup harus dilakukan dengan cermat seakan-akan kepemimpinan
Sukarno masih tetap utuh. Di sekitar tanggal ini pula CIA menyampaikan
memorandum kepada pemerintah Amerika bahwa: Amerika bukan hanya menghadapi
bahaya dari Sukarno, melainkan juga keadaan ketidak-pastian dari suatu
kemungkinan Indonesia tanpa Sukarno. Disusul kemudian adanya surat foto copy
yang disampaikan Ketua BPI (Biro Pusat Intelejen)/Menlu Dr Subandrio dalam
sidang kabinet tanggal 25 Mei 1965. Surat itu berasal dari Dubes Inggris di
Jakarta, Sir Andrew Gillchrist kepada Sekretaris Muda Kementerian Inggris di
London, Sir Harold Cassia yang berisi: “ Duta Besar Jones pada pokoknya sepakat
dengan pendirian kita….. perlu mengambil langkah-langkah baru untuk menciptakan
koordinasi yang lebih baik, dan ia mengatakan tidak perlu menekankan keharusan
untuk membuat rencana itu menjadi sukses. Saya telah berjanji akan membuat
persiapan-persiapan yang diperlukan …… Akan baik untuk menekankan sekali lagi
kepada para sahabat kita di dalam Angkatan Darat (our local army friends) bahwa
kehati-hatian yang paling saksama, disiplin dan koordinasi, adalah esensial
dari suksesnya usaha ….” Dalam hal itu Ir Soekarno menanyakannya kepada AD, dan
dijawab oleh Letjend Ahmad Yani bahwa pernah ada di dalam AD yang namanya Dewan
Jenderal yang bertugas dalam rangka penetapan jabatan dan kenaikan pangkat
Jenderal, namun kemudian sudah diganti dengan WANJAKTI (Dewan Pertimbangan
jabatan dan Kepangkatan Tertinggi). Presiden Soekarno sudah merasa puas, namun
karena sebab yang belum diketahui beliau memiliki rasa tidak suka dengan
beberapa pimpinan AD. Bahkan pada menjelang September tahun 1965, Presiden
Soekarno pernah memerintahkan agar beberapa Jenderal yang tidak loyal kepadanya
diberikan tindakan. Hal inilah yang menjadi dasar pada akhirnya MPRS
mengeluarkan TAP MPRS No XXXIII/1967 tentang keterlibatannya dalam G 30S/PKI.
Lewat TAP Nomor XXX/MPRS/1966, Jenderal AH Nasution selaku ketua MPRS
menyatakan mencabut Bintang Mahaputera Kelas III dari Aidit dengan alasan,
"ajaran dan tindakan-tindakannya telah mengkhianati Pancasila dan Revolusi
Indonesia." Dan juga mengeluarkan TAP tentang pembubaran PKI yaitu
Ketetapan MPRS Nomor XXIV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis
Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi terlarang di seluruh Wilayah Negara
Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan
untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunis/Marxisme
Leninisme. Pers termasuk Televisi dalam perundang-undangan penyiaran terikat oleh
aturan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran yang disusun
oleh KPI yang pada pasal III poin A berbunyi: KEKERASAN Lembaga penyiaran
memang lazim dan bahkan dalam kasus-kasus tertentu merasa wajib melaporkan atau
menyiarkan kekerasan.Kekerasan dalam hal ini mencakup hal-hal yang memang
sungguh terjadi dalam kehidupan sehari-hari maupun hal-hal yang termuat dalam
program fiksi.Namun, terdapat sejumlah pertimbangan yang harus diperhatikan
dalam penyajian kekerasan melalui lembaga penyiaran. Mencegah jangan sampai
tayangan tersebut menimbulkan hilangnya kepekaan masyarakat terhadap kekerasan
dan korban kekerasan. Mencegah agar masyarakat tidak berlaku apatis terhadap
gejala kekerasan Mencegah efek peniruan Mencegah agar tidak timbul rasa ketakutan
yang berlebihan Mencegah agar masyarakat tidak menerima pandangan bahwa
kekerasan adalah jalan keluar yang dapat diterima dan dibolehkan Diorama adalah
sebuah bentuk siaran, dimana ditampilkan adanya patung-patung yang
menggambarkan sebuah peristiwa. Termasuk didalamnya adalah diorama peristiwa
G30S/PKI. Maksud dari adanya diorama itu sungguh tidak tercapai. Kenyataan
kekerasan bukannya berkurang namun justru lebih banyak lagi. Bahkan lebih sadis
dari yang ada di diorama. Menggambarkan peristiwa penyiksaan sama halnya dengan
mengajarkan caranya menyiksa. Diorama seakan-akan mengajarkan bagaimana
menyiksa, dan kepada siapa dilakukannya. Diorama juga seakan akan-akan mengajak
untuk mengingat kekejaman itu, dan juga berharap agar tidak terulang kembali.
3.4
Nawaksara Presiden
Pidato Nawaksara adalah
dokumen sejarah yang menarik. Pidato yang diucapkan Sukarno di depan Sidang
Umum MPRS ke-IV ini menandai titik balik era Demokrasi Terpimpin. Era Demokrasi
Terpimpin dimulai ketika terbitnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Demokrasi ala
Sukarno yang memunculkan kesimpulan kepala pemerintahan memiliki kekuasaan tak
berhingga. Dan komando politik Indonesia berada di telunjuk Sukarno. Era ini
mencuatkan kekuatan baru dalam kancah politik yakni Partai Komunis Indonesia
(PKI). Kekuatan politik seperti Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Masyumi
sudah diberangus terlebih dahulu. Di sisi lain, TNI-AD hadir sebagai pengimbang
PKI. Pidato ini ialah pertanggung jawaban Sukarno selaku Presiden Republik
Indonesia. Pidato ini disampaikan untuk menjawab permintaan MPRS yang meminta
penjelasan tentang peristiwa 30 September, dan kemerosotan ekonomi. Menjawab
permintaan majelis rakyat, Soekarno mengurai tiga keterangan pokok yang
berkaitan dengan peristiwa G-30 S:
(a) keblingeran
pimpinan PKI,
(b) subversi
neo-kolonialisme dan imperialisme (nekolim), dan
(c) adanya oknum-oknum
yang “tidak benar”. Sukarno menuding kekuatan kontra-revolusi dari dalam negeri
dan kekuatan nekolim bersatu padu berupaya menggulingkannya dengan Gerakan 30
September.
Nawaksara ini pula
menjadi langkah awal peralihan kekuasaan dari Sukarno ke Suharto. Pimpinan MPRS
(diketuai AH Nasution, dan wakil ketua Osa Maliki, HM Subchan ZE, M Siregar,
dan Mashudi) lewat keputusan nomor 5/MPRS/1996 tertanggal 5 Juli 1966 meminta
Panglima Besar Revolusi untuk melengkapi pidato tersebut.
Naskah Nawaksara Presiden
Saudara-saudara sekalian,
I. RETROSPEKSI
Dengan mengucap Syukur Alhamdulillah,
maka pagi ini saya berada di muka Sidang Umum MPRS yang ke-lV. Sesuai dengan Ketetapan
MPRS No.I/1960 yang memberikan kepada diri saya, Bung Karno, gelar Pemimpin
Besar Revolusi dan kekuasaan penuh untuk melaksanakan Ketetapan-ketetapan
tersebut, maka dalam Amanat saya hari ini saya ingin mengulangi lebih dulu apa
yang pernah saya kemukakan dalam Amanat saya di muka Sidang Umum ke-ll MPRS
pada tanggal 15 Mei 1963, berjudul “Ambeg Parama-Arta” tentang hal ini:
1. Pengertian
Pemimpin Besar Revolusi.
Dalam pidato saya “Ambeg Parama-Arta”
itu, saya berkata: “MPRS telah memberikan KEKUASAAN PENUH kepada saya untuk
melaksanakannya, dan dalam memberi kekuasaan penuh kepada saya itu, MPRS
menamakan saya bukan saja Presiden, bukan saja Panglima Tertinggi Angkatan
Perang, tetapi mengangkat saya juga menjadi: “PEMIMPIN BESAR REVOLUSI INDONESIA”.
Saya menerima pengangkatan itu dengan
sungguh rasa terharu, karena MPRS sebagai Perwakilan Rakyat yang tertinggi di
dalam Republik Indonesia, menyatakan dengan tegas dan jelas bahwa saya adalah
“Pemimpin Besar Revolusi Indonesia”, yaitu: “PEMIMPIN BESAR REPUBLIK RAKYAT
INDONESIA”!
Dalam pada itu, saya sadar, bahwa hal
ini bagi saya membawa konsekuensi yang amat besar! Oleh karena seperti
Saudara-saudara juga mengetahui, PEMIMPIN membawa pertanggungan-jawab yang amat
berat sekali!!
“Memimpin” adalah lebih berat daripada
sekedar “Melaksanakan”. “Memimpin” adalah lebih berat daripada sekedar menyuruh
melaksanakan”!
Saya sadar, lebih daripada yang
sudah-sudah, setelah MPRS mengangkat saya menjadi “Pemimpin Besar Revolusi”,
bahwa kewajiban saya adalah amat berat sekali, tetapi Insya Allah S.W.T. saya
terima
pengangkatan sebagai “Pemimpin Besar
Revolusi” itu dengan rasa tanggung jawab yang setinggi-tingginya!
Saya Insya Allah, akan beri pimpinan
kepada Indonesia, kepada Rakyat Indonesia, kepada Saudara-saudara sekalian,
secara maksimal di bidang pertanggungan-jawab dan kemampuan saya. Moga-moga
Tuhan Yang Maha Kuasa, Yang Maha Murah, dan Maha Asih, selalu memberikan
bantuan kepada saya secukup-cukupnya!
Sebaliknya, kepada MPRS dan kepada
Rakyat Indonesia sendiri, hal ini pun membawa konsekuensi! Tempohari saya
berkata: “Jikalau benar dan jikalau demikianlah Keputusan MPRS, yang saya
diangkat menjadi Pemimpin Revolusi Besar Indonesia, Revolusi Rakyat Indonesia,
maka saya mengharap seluruh Rakyat, termasuk juga segenap Anggota MPRS, untuk
selalu mengikuti, melaksanakan, menfi’ilkan segala apa yang saya berikan dalam
pimpinan itu! Pertanggungan-jawab yang MPRS, sebagai Lembaga Tertinggi Republik
Indonesia letakkan di atas pundak saya, adalah suatu pertanggungan-jawab yang
berat sekali, tetapi denganridha Allah S.W.T. dan dengan bantuan seluruh Rak
yat Indonesia, termasuk di dalanlnya juga Saudara-saudara para Anggota MPRS
sendiri, saya percaya, bahwa Insya Allah, apa yang digariskan oleh Pola
Pembangunan itu dalam 8 tahun akan terlaksana!
Demikianlah Saudara-saudara sekalian
beberapa kutipan daripada Amanat “Ambeg Parama-Arta”.
Saudara-saudara sekalian,
Dari Amanat “Ambeg Parama-Arta”
tersebut, dapatlah Saudara ketahui, bagaimana visi serta interpretasi saya
tentang predikat Pemimpin Besar Revolusi yang Saudara-saudara berikan kepada
saya.
Saya menginsyafi, bahwa predikat itu
adalah sekedar gelar, tetapi saya pun – dan dengan saya semua
ketentuan-ketentuan progresif revolusioner di dalam masyarakat kita yang tak
pernah absen dalam kancahnya Revolusi kita – saya pun yakin seyakin-yakinnya,
bahwa tiap Revolusi mensyarat-mutlakkan adanya Pimpinan Nasional. Lebih-lebih
lagi Revolusi Nasional kita yang multi-kompleks sekarang ini, dan yang berhari
depan Sosialisme Panca-Sila. Revolusi demikian ta’ mungkin tanpa adanya
pimpinan. Dan pimpinan itu jelas tercermin dalam tri-kesatuannya Re-So-Pim,
yaitu Revolusi, Sosialisme, dan Pimpinan Nasional.
2. Pengertian
Mandataris MPRS.
Karena itulah, maka pimpinan yang saya
berikan itu adalah pimpinan di segala bidang. Dan sesuai dengan
pertanggungan-jawab saya terhadap MPRS, pimpinan itu terutarna menyangkut
garis-garis besarnya. Ini pun adalah sesuai dan sejalan dengan kemurnian bunyi
aksara dan jiwa Undang-Undang Dasar ‘45, yang menugaskan kepada MPRS untuk
menetapkan garis-garis besar haluan Negara. Saya tekankan garis-garis besarnya
saja dari haluan Negara. Adalah tidak sesuai dengan jiwa dan aksara kemurnian
Undang-Undang Dasar ‘45, apabila MPRS jatuh terpelanting kembali ke dalam alam
Liberale democratie, dengan beradu
debat dengan bertele-tele tentang
garis-garis kecil, di mana masing-masing golongan beradu untuk memenangkan
kepentingan-kepentingan golongan dan mengalahkan kepentingan nasional,
kepentingan Rakyat banyak, kepentingan Revolusi kita!
Pimpinan itu pun saya dasarkan kepada
jiwa Panca-Sila, yang telah kita pancarkan bersama dalam Manipol-Usdek sebagai
garis-garis besar haluan Negara. Dan lebih-lebih mendalam lagi, maka saya telah
mendasarkan pimpinan itu kepada Sabda Rasulullah S.A.W.: “Kamu sekalian adalah
Pemimpin, dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungan-jawabnya tentang
kepemimpinan itu di hari kemudian.”
Saudara-saudara sekalian,
Itulah jiwa daripada pimpinan saya,
seperti yang telah saya nyatakan dalam Amanat “Ambeg Parama-Arta” tersebut
tadi. Dan Saudarasaudara telah membenarkan amanat itu, terbukti dengan
Ketetapan MPRS No.IV/1963, yang menjadikan Resopim dan Ambeg Parama-Arta
masing-masing sebagai pedoman pelaksanaan garis-garis besar haluan Negara, dan
sebagai landasan kerja dalam melaksanakan Konsepsi Pembangunan seperti
terkandung dalam Ketetapan MPRS No.l dan 11 tahun 1960.
3. Pengertian
Presiden seumur hidup
Malahan dalam Sidang Umum MPRS ke-ll
pada bulan Mei tahun 1963 itu Saudara-saudara sekalian telah menetapkan saya
menjadi Presiden se-umur-hidup. Dan pada waktu itu pun saya telah menjawab
keputusan Saudara-saudara itu dengan kata-kata: “Alangkah baiknya jikalau nanti
MPR, yaitu MPR hasil pemilihan-umum, masih meninjau soal ini kembali.” Dan
sekarang ini pun saya masih tetap berpendapat demikian!
II.
LANDASAN-KERJA MELANJUTKAN PEMBANGUNAN.
Kembali sekarang sebentar kepada Amanat
“Ambeg Parama-Arta” tersebut tadi itu. Amanat itu kemudian disusul dengan
amanat saya “Berdikari” pada pembukaan Sidang Umum MPRS ke-lll pada tanggal 11
April 1965, di mana dengan tegas saya tekankan tiga hal:
1. Trisakti.
Pertama : bahwa Revolusi kita mengejar
suatu Idee Besar, yakni melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat; Amanat
Penderitaan Rakyat seluruhnya, seluruh rakyat sebulat-bulatnya.
Kedua : bahwa Revolusi kita berjoang
mengemban Amanat Penderitaan Rakyat itu dalam persatuan dan kesatuan yang
bulat-menyeluruh dan hendaknya jangan sampai watak Agung Revolusi kita,
diselewengkan sehingga mengalami dekadensi yang hanya mementingkan golongann-ya
sendiri saja, atau hanya sebagian dari Ampera saja!
Ketiga : bahwa kita dalam melaksanakan
Amanat Penderitaan Rakyat itu tetap dan tegap berpijak dengan kokoh-kuat atas
landasan Trisakti, yaitu berdaulat dan bebas dalam politik, berkepribadian
dalam kebudayaan dan berdikari dalam ekonomi; sekali lagi berdikari dalam
ekonomi!. Saya sangat gembira sekali, bahwa Amanat-amanat saya itu dulu, baik
“Ambeg Parama-Arta”, maupun “Berdikari” telaK Saudara-saudara tetapkan sebagai
landasan-kerja dan pedoman pelaksanaan Pembangunan Nasional Semesta Berencana
untukmasa 3 tahun yang akan datang, yaitu sisa jangka-waktu tahapan pertama
mulai tahun 1966 s/d 1968 dengan landasan “Berdikari di atas Kaki Sendiri”
dalam ekonomi. Ini berarti, bahwa Lembaga Tertinggi dalam Negara kita, Lembaga
Tertinggi dari Revolusi kita, Lembaga Negara Tertinggi yang menurut kemurnian
jiwa dan aksaranya UUD-Proklamasi kita adalah penjelmaan kedaulatan Rakyat,
membenarkan Amanat-amanat saya itu. Dan tidak hanya membenarkan saja, melainkan
juga menjadikannya sebagai landasan-kerja serta pedoman bagi kita-semua, ya
bagi Presiden/Mandataris MPRS/Perdana Menteri ya, bagi MPRS sendiri, ya bagi
DPA, ya bagi DPR, ya bagi Kabinet, ya bagi parpol-parpol dan ormas-ormas, ya
bagi ABRI, dan bagi seluruh Rakyat kita dari Sabang sampai Merauke, dalam
mengemban bersama Amanat Penderitaan Rakyat. Memang, di dalam situasi nasional
dan internasional dewasa ini, maka Trisakti kita, yaitu berdaulat dan bebas
dalam politik, berkepribadian dalam kebudayaan, berdikari di bidang ekonomi,
adalah senjata yang paling ampuh di tangan seluruh rakyat kita, di tangan
prajuritprajurit Revolusi kita, untuk menyelesaikan Revolusi Nasional kita yang
maha dahsyat sekarang ini.
2. Rencana
Ekonomi Perjoangan.
Terutama prinsip Berdikari di bidang
ekonomi! Sebab dalam keadaan perekonomian bagaimanapun sulitnya, saya minta
jangan dilepaskan jiwa “self-reliance” ini, jiwa percaya kepada
kekuatan-diri-sendiri, jiwa self-help atau jiwa berdikari. Karenanya, maka
dalam melaksanakan Ketetapan-ketetapan MPRS No.V dan Vl tahun 1965 yang lalu,
saya telah meminta Bappenas dengan bantuan dan kerja sama dengan Muppenas,
untuk menyusun garis-garis lebih lanjut daripada Pola Ekonomi Perjoar gan
seperti yang telah saya canangkan dalam Amanat Berdikari tahun yang lalu.
Garis-garis Ekonomi Perjoangan tersebut
telah selesai, dan saya lampirkan bersama ini Ikhtisar Tahunan tentang
pelaksanaan Ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960. Di dalamnya Saudara-saudara akan
memperoleh gambaran tentang Strategi Umum Pembangunan 2 tahun 1966-1968, yaitu
Pra-syarat Pembangunan, dan pola Pembiayaan tahun 1966 s/d 1968 melalui Rencana
Anggaran 3 tahun.
3. Pengertian
Berdikari.
Khusus mengenai Prinsip Berdikari ingin
saya tekankan apa yang” telah saya nyatakan dalam pidato Proklamasi 17 Agustus
1965, yaitu pidato Takari, bahwa berdikari tidak berarti mengurangi, melainkan
memperluas kerjasama internasional, terutama antara semua negara yang baru
merdeka.
Yang ditolak oleh Berdikari adalah
ketergantungan kepada imperialis, bukan kerja sama yang sama-derajat dan saling
me nguntungkan.
Dan di dalam Rencana Ekonomi Perjoangan
yang saya sampaikan bersama ini, maka Saudara-saudara dapat membaca bahwa:
“Berdikari bukan saja tujuan, tetapi yang tidak kurang pentingnya harus
merupakan prinsip dari cara kita mencapai tujuan itu, prinsip untuk
melaksanakan Pembangunan dengan tidak menyandarkan diri kepada bantuan negara
atau bangsa lain. Adalah jelas, bahwa tidak menyandarkan diri tidak berarti
bahwa kita tidak mau kerja sama berdasarkan sama-derajat dan saling
menguntungkan.”
Dalam rangka pengertian politik
Berdikari demikian inilah, kita harus menanggulangi kesulitan-kesulitan di
bidang Ekubang kita dewasa ini, baik yang hubungan dengan inflasi maupun yang
hubungan dengan pembayaran hutang-hutang luar negeri kita.
III. HUBUNGAN
POLITIK DAN EKONOMI
Masalah Ekubang tidak dapat dilepaskan
dari masalah politik, malahan harus didasarkan atas Manifesto Politik kita.
Dekon kita pun adalah Manipohdi bidang
ekonomi, atau dengan lain perkataan “political-economy”-nya pembangunan kita.
Dekon merupakan strategi-umum, dan strategi-umum di bidang pembangunan 3 tahun
di depan kita, yaitu tahun 1966–1968, didasarkan atas pemeliharaan hubungan
yang tepat antara keperluan untuk melaksanakan tugas politik dan tugas ekonomi.
Demikianlah tugas politik-keamanan kita, politik-pertahanan kita, politik
dalam-negeri kita, politik luar-negeri kita dan sebagainya.
IV. DETAIL
KE-DPR
Detail dari tugas-tugas ini kiranya
tidak perlu diperbincangkana dalam Sidang Umum MPRS, karena tugas MPRS ialah
menyangkut garisgaris besarnya saja. Detailnya seyogyanya ditentukan oleh
Pemerintah bersama-sama dengan DPR, dalam rangka pemurnian pelaksanaan
Undang-Undang Dasar 1945.
V. TETAP
DEMOKRASI TERPIMPIN
Sekalipun demikian perlu saya
peringatkan di sini, bahwa UndangUndang Dasar 1945 memungkinkan Mandataris MPRS
bertindak lekas dan tepat dalam keadaan darurat demi keselamatan Negara, Rakyat
dan Revolusi kita.
Dan sejak Dekrit 5 Juli 1959 dulu itu,
Revolusi kita terus meningkat dan bergerak cepat, yang mau-tidak-mau
mengharuskan semua Lembaga-lembaga Demokrasi kita untuk bergerak cepat pula
tanpa menyelewengkan Demokrasi Terpimpin kita ke arah Demokrasi Liberal.
VI. MERINTIS
JALAN KE ARAH PEMURNIAN PELAKSANAAN UUD 1945
Dalam rangka merintis jalan ke arah
kemurnian pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 itulah, saya dengan surat saya
tertanggal 4 Mei 1966 kepada Pimpinan DPRGR memajukan:
a. RUU Penyusunan MPR, DPR dan DPRD.
b. RUU Pemilihan Umum.
c. Penetapan Presiden No.3 tahun 1959
jo. Penetapan Presiden No.3 tahun 1966 untuk diubah menjadi Undang-Undang
supaya DPA dapat ditetapkan menurut pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
VII. WEWENANG
MPR DAN MPRS
Tidak lain harapan saya ialah hendaknya
MPRS dalam rangka pemurnian pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 itu menyadari
apa tugas dan fungsinya, juga dalam hubungan-persamaan dan perbedaannya dengan
MPR hasil pemilihan-umum nanti.
Wewenang MPR selaku pelaksanaan
kedaulatan Rakyat adalah menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar
daripada haluan Negara (pasal 3 UUD), serta memilih Presiden dan Wakil Presiden
(pasal 6 UUD ayat 2).
Undang-Undang Dasar serta garis-garis
besar haluan Negara telah kita tentukan bersama, yaitu Undang-Undang Dasar
Proklamasi 1945 dan Manipol/Usdek.
VIII.
KEDUDUKAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN
Undang-Undang Dasar 1945 itu menyebut
pemilihan jabatan Presiden dan Wakil Presiden, masa jabatannya serta
isi-sumpahnya dalam satu nafas, yang tegas bertujuan agar terjamin
kesatuan-pandangan, kesatuan-pendapat, kesatuan-pikiran dan kesatuan-tindak
antara Presiden dan Wakil Presiden, yang membantu Presiden (pasal 4 ayat 2
UUD).
Dalam pada itu, Presiden memegang dan
menjalankan tugas, wewenang dan kekuasaan Negara serta Pemerintahan. (pasal 4,
5, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, ayat 2).
Jiwa kesatuan antara kedua pejabat
Negara ini, serta pembagian tugas dan wewenang seperti yang ditentukan dalam
Undang-Undang Dasar 1945 hendaknya kita sadari sepenuhnya.
IX. PENUTUP
Demikian pula hendaknya kita semua, di luar
dan di dalam MPRS menyadari sepenuhnya perbedaan dan persamaannya antara MPRS
sekarang, dengan MPR-hasil-pemilihan-umum yang akan datang, agar supaya
benar-benar kemurnian pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 dapat kita rintis
bersama, sambil membuka lembaran baru dalam sejarah kelanjutan Revolusi
Panca-Sila kita.
Demikianlah Saudara-saudara, teks
laporan progress saya kepadaMPRS. lzinkanlah saya sekarang mengucapkan beberapa
patah kata pribadi kepada Saudara-saudara, terutama sekali mengenai pribadi saya.
Lebih dahulu tentang hal laporan
progress ini.
Laporan progress itu saya simpulkan
dalam sembilan pasal, sembilan golongan, sembilan punt. Maka oleh karena itu
saya ingin memberi judul kepada amanat saya tadi itu. Sebagaimana biasa saya
memberi judul kepada pidato-pidato saya, ada yang bernama Resopim, ada yang
bernama Gesuri dan lain-lain sebagainya. Amanat saya ini, saya beri judul apa?
Sembilan perkara, pokok, pokok, pokok, pokok, saya tuliskan di dalam Amanat
ini. Karena itu saya ingin memberi nama kepada Amanat ini, kepada pidato ini
“Pidato Sembilan Pokok”. Sembilan, ya sembilan apa? Kita itu biasa memakai
bahasa Sanskrit kalau memberi nama kepada amanat-amanat, bahkan kita sering
memakai perkataan Dwi, Tri, Tri Sakti, dua-duanya perkataan Sanskrit. Catur Pra
Setia, catur-empat setia, kesetiaan, Panca Azimat, Panca adalah lima. Ini
sembilan pokok; ini saya namakan apa?
Sembilan di dalam bahasa Sanskrit adalah
“Nawa”. Eka, Dwi, Tri, Catur, Panca, enam-yam, tujuh-sapta, delapan-hasta,
sembilan-nawa, sepuluh-dasa. Jadi saya mau beri nama dengan perkataan “Nawa”.
“Nawa” apa? Ya, karena saya tulis, saya mau beri nama “NAWA AKSARA”, dus “NAWA
iAKSARA” atau kalau mau disingkatkan “NAWAKSARA”. Tadinya ada orang yang
mengusulkan diberi nama “Sembilan Ucapan Presiden”. “NAWA SABDA”. Nanti kalau
saya kasih nama Nawa Sabda, ada saja yang salah-salah berkata: “Uh, uh,
Presiden bersabda”. Sabda itu seperti raja bersabda. Tidak, saya tidak mau
memakai perkataan “sabda” itu, saya mau memakai perkataan “Aksara”; bukan dalam
arti tulisan, jadi ada aksara latin, ada aksara Belanda dan sebagainya. NAWA
AKSARA atau NAWAKSARA, itu judul yang saya berikan kepada pidato ini. Saya
minta wartawan-wartawan mengumumkan hal ini, bahwa pidato Presiden dinamakan
oleh Presiden NAWAKSARA . ,
Kemudian saya mau menyampaikan beberapa
patah kata mengenai diri saya sendiri. Saudara-saudara semua mengetahui, bahwa
tatkala saya masih muda, masih amat muda sekali, bahwa saya miskin dan oleh
karena saya miskin, maka demikianlah saya sering ucapkan: “Saya tinggalkan this
material world. Dunia jasmani sekarang ini laksana saya tinggalkan, karena
dunia jasmani ini tidak memberi hiburan dan kepuasan kepada saya, oleh karena
saya miskin.” Maka
saya meninggalkan dunia jasmani ini dan
saya masuk katagori dalam pidato dan keterangan-keterangan yang sering masuk ke
dalam world of the mind. Saya meninggalkan dunia yang material ini, saya masuk
di dalam world of the mind. Dunianya alam cipta, dunia khayal, dunia pikiran.
Dan telah sering saya katakan, bahwa di dalam wolrd of the mind itu, di situ
saya berjumpa dengan orang-orang besar dari segala bangsa dan segala negara. Di
dalam world of the mind itu saya berjumpa dengan nabi-nabi besar; di dalam
world of the mind itusaya berjumpa dengan ahli falsafah, ahli falsafah besar.
Di dalam world of the mind itu saya berjumpa dengan pemimpin-pemimpin bangsa
yang besar, dan di dalam world of the mind itu saya berjumpa dengan
pejuang-pejuang kemerdekaan yang berkaliber besar.
Saya berjumpa denganorang-orang besar
ini, tegasnya, jelasnya dari membaca buku-buku. Salah satu pemimpin besar
daripada sesuatu bangsa yang berjuang untuk kemerdekaan, ia mengucapkan kalimat
sebagai berikut: “The cause of freedom is a deathless cause. The cause of
freedom is a deathless cause. Perjuangan untuk kemerdekaan adalah satu
perjuangan yang tidak mengenal mati. The cause of freedom is a deathless cause.
Sesudah saya baca kalimat itu dan
renungkan kalimat itu, bukan saja saya tertarik kepada cause of freedom
daripada bangsa saya sendiri dan bukan saja saya tertarik pada cause of freedom
daripada seluruh umat manusia di dunia ini, tetapi saya, karena tertarik kepada
cause of freedom ini saya menyumbangkan diriku kepada deathless cause ini,
deathless cause of my own people, deathless cause of all people on this. Dan
lantas saya mendapat keyakinan, bukan saja the cause of freedom is a deathless
cause, tetapi juga the service of freedom is a deathless service. Pengabdian
kepada perjuangan kemerdekaan, pengabdian kepada kemerdekaan itupun tidak
mengenal maut, tidak mengenal habis. Pengabdian yang sungguh-sungguh
pengabdian, bukan service yang hanya lip-service, tetapi service yang
betul-betul masuk di dalam jiwa, service yang betul-betul pengabdian, service
yang demikian itu adalah satu deathless service.
Dan saya tertarik oeh saya punya
pendapat sendiri, pendapat pemimpin besar daripada bangsa yang saya sitir itu
tadi, yang berkata “the cause of freedom is deathless cause”. Saya berkata “not
only the cause of freedom is deathless cause, but also the service of freedom
is a deatheless service”.
Dan saya, Saudara-saudara, telah
memberikan, menyumbangkan atau menawarkan diri saya sendiri, dengan segala apa
yang ada pada saya ini, kepada service of freedom, dan saya sadar sampai
sekarang: the service of freedom is deathless service, yang tidak mengenal
akhir, yang tidak mengenal mati. Itu adalah tulisan isi hati. Badan manusia
bisa hancur, badan manusia bisa dimasukkan di dalam kerangkeng, badan manusia
bisa dimasukkan di dalam penjara, badan manusia bisa ditembak mati, badan
manusia bisa dibuang ke tanah pengasingan yang jauh dari tempat kelahirannya,
tetapi ia punya service of freedom tidak bisa ditembak mati, tidak bisa
dikerangkeng, tidak bisa dibuang di tempat pengasingan, tidak bisa ditembak mati.
Dan saya beritahu kepada
Saudara-saudara, menurut perasaanku sendiri, saya, Saudara-saudara, telah lebih
daripada tiga puluh lima tahun, hampir empat tahun dedicate myself to this
service of freedom. Yang saya menghendaki supaya seluruh, seluruh, seluruh
rakyat Indonesia masing-masing juga dedicate jiwa raganya kepada service of
freedom ini, oleh karena memang service of freedom ini is a deathless service.
Tetapi akhirnya segala sesuatu adalah di tangannya
Tuhan. Apakah Tuhan memberi saya
dedicate myself, my all to this service of freedom, itu adalah Tuhan punya
urusan.
Karena itu maka saya terus, terus, terus
selalu memohon kepada Allah S.W.T., agar saya diberi kesempatan untuk ikut
menjalankan aku punya service of freedom ini. Tuhan yang menentukan. De mens
wikt, God beslist; manusia bisa berkehendak ,macam-macam Tuhan yang menentukan.
Demikianpun saya selalu bersandarkan kepada keputusan Tuhan itu. Cuma saya juga
di hadapan Tuhan berkata: Ya Allah, ya Rabbi, berilah saya kesempatan,
kekuatan, taufik, hidayat untuk dedicate my self to this great cause of freedom
and to this great service.
Inilah Saudara-saudara yang saya
hendak katakan kepadamu;dalam saya pada hari sekarang ini memberi laporan
kepadamu. Moga-moga Tuhan selalu memimpin saya, moga-moga Tuhan selalu memimpin
Saudara-saudara sekalian. Sekianlah.
4.1 Kesimpulan
Pada era “Demokrasi Terpimpin”,
kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis nasional dalam menekan
pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan
masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun,
foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer
menjadi wabah.
Pada 30 September 1965,
enam jendral senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang
disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang loyal kepada PKI dan
pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi Angkatan
Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan
G30S/PKI tersebut.
Pada tanggal 12 Desember 1964 sebuah
dokumen ditunjukkan oleh Chairul Saleh kepada Ir Sukarno dalam pertemuan
bersama pemimpin semua Parpol di Istana Bogor. Dokumen itu bertanggalkan akhir
Desember 1963 memuat garis-garis besar strategi PKI, antara lain: 1.
Menggulingkan pemimpin yang borjuis, 2. Mengucilkan kelompok “Nasutionis” dan
“orang-orang berkepala batu”, 3. Menolak pernyataan presiden Sukarno mengenai
tidak adanya kelas-kelas dalam masyarakat Indonesia, 4. Menilai Nasakom sebagai
“impian seorang idealis” yang pada hakekatnya bersifat “revisionisme”, dan 5.
Militer harus diindoktrinasi dan meningkatkan pembentukan sel-sel di dalam
tubuh militer. Namun dokumen itu ditolak oleh DN Aidit, sehingga terjadi
perdebatan yang seru hingga kemudian bisa diselesaikan secara musyawarah oleh
Ir Soekarno.
Pidato Nawaksara adalah
dokumen sejarah yang menarik. Pidato yang diucapkan Sukarno di depan Sidang
Umum MPRS ke-IV ini menandai titik balik era Demokrasi Terpimpin. Era Demokrasi
Terpimpin dimulai ketika terbitnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Demokrasi ala
Sukarno yang memunculkan kesimpulan kepala pemerintahan memiliki kekuasaan tak
berhingga. Dan komando politik Indonesia berada di telunjuk Sukarno. Era ini
mencuatkan kekuatan baru dalam kancah politik yakni Partai Komunis Indonesia
(PKI). Kekuatan politik seperti Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Masyumi
sudah diberangus terlebih dahulu. Di sisi lain, TNI-AD hadir sebagai pengimbang
PKI. Pidato ini ialah pertanggung jawaban Sukarno selaku Presiden Republik
Indonesia. Pidato ini disampaikan untuk menjawab permintaan MPRS yang meminta
penjelasan tentang peristiwa 30 September, dan kemerosotan ekonomi. Menjawab
permintaan majelis rakyat, Soekarno mengurai tiga keterangan pokok yang
berkaitan dengan peristiwa G-30 S:
(a) keblingeran
pimpinan PKI,
(b) subversi
neo-kolonialisme dan imperialisme (nekolim), dan
(c) adanya oknum-oknum yang “tidak
benar”. Sukarno menuding kekuatan
DAFTAR
PUSTAKA
NN.Korban
G30SPKI di Lubang Buaya. http://www.kompasiana.com/muthofarhadi/kebingungan-korban-g30s-pki-di-lubang-buaya_5621d46d50f9fd5705e8fd25. Diunduh
pada 17 September 2016.
NN.Latar
Belakang Peristiwa G30S/PKI.
http://peristiwa-id.com/kronologis-dan-latar-belakang-peristiwa-g-30-s-pki/.
Diunduh pada 17
September 2016.
NN.Nawaksara.
NN.
Peristiwa G30S/PKI.
NN.
Latar Belakang Peristiwa G30S/PKI. http://www.duniapendidikan.net/2015/10/latar-belakang-peristiwa-g-30-s-pki-secara-singkat.html.
Diunduh pada 17
September 2016.
No comments:
Post a Comment